Rabu, 30 Maret 2011

Bacaan Minggu Paskah 1, 24 April 2011: 1Samuel 2:1-2; 6-8

widgeo.net
Minggu  Paskah 1, 24 April 2011                               1Samuel 2:1-2; 6-8
TUHAN MENGHIDUPKAN
 


T
eks yang menjadi dasar renungan kita untuk perayaan iman kebangkitan yang sedemikian sentral, kali ini diambil dari Perjanjian Lama.  Memang ini agak mengherankan. Mengapa? Karena jarang sekali Alkitab Ibrani berbicara tentang kebangkitan! Kita mengenal beberapa gelintir nas yang menggambarkan “kebangkitan” seperti Yehezkiel 37. Akan tetapi, di situ yang ditekankan ialah kebangkitan Israel sebagai umat yang terserak dan terbuang bagaikan lembah tulang-tulang kering. Penggambaran seperti itu tentu tidak dapat disamakan begitu saja dengan penghayatan iman para pengikut Kristus akan kebangkitan dari antara orang mati. Barangkali teks yang paling dekat dengan pemahaman Perjanjian Baru ialah Daniel pasal terakhir (12:2-3). Sebagian orang akan bangkit untuk mendapat hidup kekal, sedangkan yang lain akan mengalami kehinaan dan kengerian kekal.
Kalau begitu, tentu wajar mempertanyakan mengapa kita membaca teks yang menjadi bagian dari “Nyanyian Hanna” yang terkenal itu (1Sam. 2:1-10). Sepintas memang hampir tidak ada kaitannya yang jelas dengan perayaan kebangkitan yang kita imani. Namun, kalau kita renungkan makna kebangkitan itu sendiri secara mendalam dan luas, kita akan dapat melihat titik temunya yang relevan.
Nyanyian Hanna dilatarbelakangi oleh kisah kelahiran Samuel, hakim terakhir yang akan memimpin Israel dalam masa peralihan menuju ke sistem kerajaan. Kisah hidup ibunya, Hanna, mengambil motif yang amat klasik dalam kisah-kisah lahirnya orang-orang pilihan Tuhan, yaitu kemandulan (bd. Kej. 16; 29:31-35; Luk. 1:5-25). Kondisi ini bagi banyak masyarakat tradisional sampai sekarang membawa beban yang amat berat. Jika seorang perempuan tidak memberi keturunan setelah beberapa tahun menikah, sering timbul pertanyaan yang memojokkan dirinya. Serta merta yang pertama-tama dicurigai adalah kesuburan istri. Belum apa-apa, istri langsung disuruh, bahkan terkadang dipaksa, untuk memeriksakan kesuburannya. Sangatlah jarang, pihak suami dilihat sebagai sumber persoalan.
Sistem sosial dan adat-istiadat masih terasa timpang ketika kita berbicara tentang keseimbangan hubungan dan hak suami istri. Walaupun katanya zaman sudah sangat maju dengan segala keterbukaan akibat arus informasi global, perempuan masih menjadi gender yang paling banyak dan paling berat memikul stigma sosial jika satu keluarga tidak memiliki anak. Padahal, Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa memiliki anak adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam hubungan dua menjadi “satu daging”, sebagaimana diajarkan oleh Kristus kepada para pengikut-Nya! (Mat. 19:5; Mrk. 10:8). Alkitab mengajarkan ikatan kasih yang tidak ditawar-tawar antara laki-laki dan perempuan, suami-istri, bukan harapan-harapan yang dibebankan pihak ketiga, entah itu pribadi, keluarga inti, keluarga luas, atau bahkan masyarakat.
Dalam kisah Hanna - yang bukan mustahil masih tecermin dari praktek masyarakat tertentu sekarang ini - poligami menjadi salah satu solusi terhadap persoalan kesuburan. Sudah mandul, masih lagi dimadu. Betapa menyakitkan! Wajar saja jika Hanna begitu tertekan. Dari segala aspek nilai kehidupan Hanna betul-betul mewakili masyarakat marjinal, yang dipinggirkan, yang tidak diperhitungkan dan yang kerap kali menjadi sasaran empuk tindakan sewenang-wenang. Kendati demikian, boleh jadi masih ada yang menganggap dia “beruntung”, seperti istilah yang kerap terdengar. Ya, beruntung, ia masih punya suami yang menyayanginya. Beruntung, ia tidak diceraikan. Dan seterusnya. Alangkah ironisnya! Sudah tertindas dan terhina, ia masih “beruntung”! Masih banyak orang, termasuk warga gereja kita, yang cenderung melihat soal ketidakadilan sebagai soal orang-perorangan. Padahal, Hanna tetaplah perempuan yang tersakiti, bukan hanya oleh madunya (1Sam. 1:6) tetapi juga oleh tatatan masyarakat yang lebih besar dan, karena itu, kurang kasatmata!
Menghadapi situasinya yang amat menyesak itu, apa yang dapat dilakukannya? Ketika manusia tak lagi dapat menjadi andalan, apalagi sumber kekuatannya? Di situlah kita belajar tentang kekuatan iman dan pengharapan di dalam Tuhan. Kekuatan dari “luar” yang memberi keteguhan di “dalam” diri kaum tertindas untuk berdiri tegak, pantang menyerah. Jika agama pernah dituduh sebagai obat bius hanya untuk menghilangkan rasa sakit (demikian, misalnya, menurut pemikir seperti Karl Marx), dalam kasus Hanna kita dapat belajar dari sudut pandang sebaliknya. Tak perlu disangkal, agama tentu saja dapat diperalat menjadi semacam obat bius, jika ia hanya mengajak kita mendongak ke surga tanpa berpijak pada pergumulan hidup nyata yang harus dihadapi setiap insan di dunia ini. Ya, jika ia hanya membuat kita terbuai pada keajaiban-keajaiban yang dilakukan Tuhan tanpa memberi makna apa-apa untuk perjuangan menegakkan tanda-tanda kerajaan Allah.
Apakah demikian yang dialami oleh Hanna? Tidak! Bagi Hanna, yang ironisnya disalahmengerti oleh Imam Eli, seorang pemimpin religius pada masa itu, pengalaman iman dan doanya bukanlah hanya harapan-harapan tak bertujuan, yang lebih mirip dengan iming-iming pembuai impian kosong. Tidak, bagi Hanna, sang wakil kaum terpinggirkan, doa adalah awal dari tekadnya untuk mempersembahkan buah sulungnya kepada Tuhan, calon pemimpin yang bakal menjungkirbalikkan bahkan kemapanan sang imam! Jika kemandulan dipahami sebagai sebentuk “kematian”, dalam arti ketiadaan benih kehidupan, maka doa bagi dia melahirkan janji untuk membaktikan jawaban Tuhan atas doanya kembali kepada Dia! 
Pergumulan doa Hanna menuntun kita untuk memahami nyanyiannya yang penuh daya dan kekuatan dahsyat. Dari keterpurukan yang dapat dibandingkan dengan keadaan “mati”, mandul, lemah, tak berdaya, Hanna bangkit dengan semangat kebangkitan yang tidak mau menyerah pada kekuatan yang kelihatan tersakti sekalipun! Dalam pujian sekaligus pengakuannya itu, ia merayakan kuasa Tuhan yang “mematikan” dan “menghidupkan”. Sungguh benar, Tuhan yang diyakini Hanna dan yang mestinya juga kita yakini bukanlah cuma Tuhan yang statis tanpa kepedulian dan kuasa untuk bertindak dalam sejarah umat-Nya. Ia adalah Tuhan yang “mematikan” bagi semua kekuatan yang menyeret hidup ini ke lembah kehancuran dalam berbagai wajahnya. Entah kehidupan pribadi, keluarga, adat, ekonomi, ataupun politik. Tetapi, Ia juga Tuhan yang sanggup membangkitkan bahkan dari puing-puing kehancuran siapa saja yang bersandar dan menjadikannya sumber kekuatan untuk berjuang mengatasi kuasa maut dan dosa yang terus mengancam hidup kita! Itu sebabnya, dalam nyanyian Hanna kita mendengar nada yang penuh pengharapan: Kaum miskin, hina dan papa pun mendapat kehormatan di antara para bangsawan. Bagaimana mungkin?
Dari gerak seperti itulah, kita memahami mengapa Nyanyian Hanna mengingatkan kita kepada peristiwa maha besar dalam perayaan iman kita, yakni kebangkitan. Meminjam ungkapan Paulus: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rm. 8:36). Rasul ini tidak membayangkan hidup para pengikut Kristus bagaikan orang-orang berkuasa, terpandang, hidup nyaman dan berkecukupan (bd. 1Kor. 1:26-31). Sebaliknya, seperti teladan hidupnya sendiri, sebagai umat Tuhan, setiap saat kita dikepung oleh kekuatan-kekuatan maut (bd. 2Kor. 4:7-12). Seperti syair dari sebuah nyanyian rohani popular: “Tuhan tak pernah janjikan langit selalu biru, bunga bertaburan di sepanjang jalan hidup kita”. Malah, kita diingatkan, jalan yang kita tempuh sering harus mengikuti jejak Kristus via dolorosa, ya melalui jalan sengsara penyaliban-Nya.
Akan tetapi, jalan yang seolah-olah membuat kita seperti tontonan dalam arakan kekalahan justru menjadi titik balik yang paling menentukan! Sebab, melalui jalan itulah Allah memilih apa yang bodoh bagi dunia untuk mempermalukan yang berhikmat, apa yang lemah bagi dunia untuk mempermalukan yang kuat (1Kor. 1:27). Perspektif iman inilah yang dapat mengilhami hidup umat beriman dalam dunianya yang tak pernah sepi dari berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan. Sama seperti Hanna, Kristus pun adalah korban sebuah sistem yang korup, bahkan dengan bertopengkan agama! Tetapi, Tuhan yang kelihatan “kalah” itu, dan sempat membuat para pengikutnya patah semangat, adalah Tuhan yang tetap berjuang sampai maut, kekuatan yang menundukkan seluruh kehidupan, akhirnya dipatahkan lewat kebangkitan (bd. Rm. 6:9; 1Kor. 15:55)!
Dalam Nyanyian Hanna, yang kelak memberi inspirasi bagi Magnificat (Nyanyian Maria, Luk. 1:46-55), kita menyimak kekuatan yang sama dari Tuhan yang menghidupkan (1Sam. 2:6)! Kekuatan inilah yang terus-menerus dirayakan bukan saja setiap tahun, tetapi juga setiap hari, setiap saat oleh umat percaya. Lagi-lagi, meminjam istilah Paulus, sebagai umat yang dikasihi Tuhan, kita bahkan “lebih daripada orang-orang yang menang” (Rm. 8:37). Sebab, kemenangan yang kita rayakan dan hidupi bukan cuma kemenangan semu. Sebagai umat kebangkitan, kita dipanggil untuk berpihak pada kuasa kehidupan sejati, untuk terlibat dalam melucuti kekuatan-kekuatan, struktur-struktur, sistem-sistem yang korup dan penuh janji palsu! Entah itu dalam keluarga, gereja, masyarakat, bahkan terhadap lingkungan hidup kita. Kiranya semangat kebangkitan terus mengilhami dan menghidupkan semangat kita untuk terus berjuang di pihak Allah! Amin.




Pdt. Anwar Tjen, PhD
HP 0813 19294386

2 komentar:

  1. Terima kasih atas penjelasan nats 1 Samuel:1-2; 6-8 yang sangat menginspirasi kami. Kiranya pengelola blog ini diberkati Tuhan.

    Syaloom

    Regards

    St Jannerson Girsang
    Vorhanger GKPS Simalingkar

    BalasHapus
  2. Terimakasih amang atas kometarnya. Selamat melayani di GKPS Simalingkar

    Horas ma

    Ramli SN Harahap

    BalasHapus