”D U N I A M I S T I K” ( Keluaran 20 : 2-6; Ulangan 18 : 9-14 ) Agar tidak setiap pokok jelas penerapannya dan tidak simpang siur penafsirannya, maka diperlukan “juklak” – Petunjuk Pelaksanaan. Dari sudut pandangan tertentu, kita dapat mengatakan bahwa perintah kedua dari Dasa Titah, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun… Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya…”, adalah juklak dari perintah pertama, ”Jangan ada padamu Allah lain di hadapanku”. Kalimatnya gamblang, tidak sulit dipahami, tapi awas, makna serta implikasinya ternyata mudah sekali dipelintir dan disalahpahami. Karena itu kita mesti berhati-hati. Janganlah memahami perintah ini secara harafiah semata. Sehingga kemudian seolah-olah – seperti “narkoba” – semua patung, arca, lukisan, ulos, pendek kata hasil kerajinan tangan bahkan karya seni rupa – ditabukan sebagai barang terlarang dikutuk sebagai “berhala”. Dan konsekuensinya, semua senirupawan dan perajinnya divonis sebagai pelanggar serius “perintah kedua”. Bukan Cuma itu. Dalam kekristenan sendiri ada pula aliran yang begitu “anti” dan “alergi”, sehingga segala bentuk dan jenis patung – termasuk yang antik dan bernilai tinggi – mesti dibuang, dibakar, atau dihancurkan. “Benda-benda itu adalah sarang iblis, setan dan kuasa-kuasa kegelapan” ujar mereka dengan sengitnya. Menurut saya, kalau mereka mau menghancurkan atau membuang patung-patung milik mereka sendiri, ya monggo. Silahkan saja. Itu hak mereka sepenuhnya sebagai pemilik. Tapi kalau kemudian mereka memaksa, menakut-nakuti, serta mengancam orang lain agar melakukan yang sama, ini jelas-jelas bukan sikap yang lahir oleh pimpinan atau inspirasi Roh Kudus. Sebab orang yang dipimpin Roh Kudus akan tercermin melalui kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal.5:22-23). Salah besar bila orang menyangka bahwa Iblis terutama bersarang di patung-patung! Salah, sebab dimanakah Iblis paling gemar bersarang? Di hati manusia! Karena itu jangan sampai asyik memecahi keramik-keramik antik, Iblis sesungguhnya bersarang di hati, jangan dibiarkan merajalela dengan leluasa. Terlalu naif dan picik bila orang berpikir iblis bisa diusir dan dikalahkan dengan cara menghancurkan gentong dan mangkuk kuno. Perintah kedua ini penekanannya bukan pada “Jangan membuat…” tetapi pada “Jangan sujud menyembah atau beribadah kepadanya”. Jadi perintah ini sama sekali tidak meminta kita menghancurkan atau mengharamkan seni rupa dengan segala hasil karyanya. Yang ditentang dengan amat keras adalah bila orang “memberhalakannya”. Yang diharamkan dengan amat keras adalah semua bentuk-bentuk pemberhalaan, semua bentuk “idolatri”, atau segala jenis perbuatan yang “mempertuhankan berhala”. Yesaya mengatakan bahwa berhala itu bagaikan kayu yang bisa dipotong, dibakar atau diukir menjadi lelaki atau wanita yang ditempatkan di kuil pemujaan (Yes.44:9-20). Yeremia juga menganggab berhala itu sebagai orang-orangan di kebun mentimun. Berhala itu semuanya bodoh dan dungu; petunjuk dewa itu sia-sia, karena ia hanya kayu belaka (Yer.10:3-8). Orang-orang modern seperti kita tentu sudah jauh lebih “canggih” dibandingkan nenek-moyang kita. Walaupun “agama-agama tradisional” dan animisme menggeliat bangun lagi di sana-sini, orang terang-terangan menyembah berhala semakin langka. Tapi apakah ini otomatis berarti bahwa perintah kedua ini tidak relevan lagi? Justru sebaliknya! Sekarang ini, pelanggaran terhadap isi perintah ini malah kian menjadi-jadi. Bahkan telah menjadi begitu “lumrah”, sehingga orang tidak merasakannya sebagai pelanggaran lagi. Benarkah? Ya! Sebab “materialisme” – dengan manifisetasinya, yaitu hedonisme, konsumerisme dan pragmatisme – yang merupakan rohnya zaman modern, tidak lain adalah penjelmaan kembali atau “reinkarnasi” dari roh penyembahan berhala atau “idolatri”. Inti hakikatnya sama persis, yaitu “mempertuhankan” sesuatu yang bukan Tuhan. Menukar Tuhan yang hidup dengan benda-benda mati. Dan menjadikan benda-benda mati itu titik tolah kehidupannya, seluruh isi kehidupannya dan segenap tujuan hidupnya. Apa saja yang diberhalakan oleh manusia sekarang? Apa saja! Tapi semuanya bersifat badaniah, kasat mata dan terukur dengan angka-angka. Sukses misalnya, dinilai dan diukur secara material. Dan kebahagiaan dibayangkan sebagai kelimpahan atau kenikmatan yang bersifat material dan fisikal. Allah yang hidup ditukar dengan benda-benda yang bernama harta, pangkat, dan nikmat sesaat. Dan pemikiran seperti ini juga meyusup anak-anak Tuhan sehingga gereja-gereja berlomba dan bersaing untuk meraih "sukses”. Gereja yang “sukses” menurut pemikiran “materialis Kristiani” adalah gereja dengan sekian puluh ribu anggota, sekian miliar aset dan omsetnya, sekian kali jumlah kebaktiannya dan sekian ribu orang setiap tahun pertambahan keanggotaannya. Ini adalah bentuk terselubung dari bentuk pemberhalaan karena telah menukar nilai-nilai spiritual dengan benda-benda, dan dengan angka-angka. Perintah, “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” berarti kita tidak boleh menuhankan yang ada di dunia ini selain Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Dengan perintah ini kita harus juga menghindari praktek-praktek mistisisme yang ada di sekitar kita (bd. Ul.18:9-14). Mistisisme ialah aktivitas untuk mendapat ilmu atau kekuatan tertentu, melalui cara yang ghaib seperti bermeditasi, bertapa, dan lain-lain. Mistisme ini dikenal dalam dua bagian yaitu: Mistisime non keagamaan (tidak terkait dengan Tuhan) dan mistisisme keagamaan (terkait dengan Tuhan). Di dalam kekristenan juga dikenal ada mistisisme. Mistisisme dalam konteks Kristen adalah suatu pikiran yang percaya bahwa pengenalan akan Allah atau bersekutu dengan Allah bukan melalui sarana-sarana tidak langsung (seperti melalui Alkitab), tetapi melalui relasi atau pengalaman langsung dengan Allah. Dalam konteks Kristen mistisisme biasanya dipraktikkan melalui tiga disiplin, yaitu doa (termasuk meditasi Kristen dan kontemplasi), berpuasa (termasuk bentuk-bentuk pantang dan penyangkalan diri yang lainnya), dan pemberian sedekah, yang kesemuanya dibicarakan oleh Yesus dalam Khotbah di Bukit (Matius Pasal 5-7). Orang Kristen percaya bahwa Allah tinggal di dalam diri orang percaya melalui Roh Kudus, dan oleh karenanya semua orang Krisen dapat secara langsung mengalami Allah. Tradisi Mistisisme Kristen sama tuanya dengan agama Kristen sendiri. Sekurang-kurangnya tiga teks dari Perjanjian Baru menjadi dasar tema-tema yang berulang kali muncul di sepanjang pemikiran para mistikus Kristen yang sempat dicatat yaitu: Galatia 2:20; 1Yohanes 3:2; 2Petrus 1:4. Kekristenan tercemar oleh Mistisisme sejak dari awal timbulnya Kekristenan. Mistisisme masuk melalui pengaruh dari Neo-Platonisme. Mistisisme seringkali dikaitkan dengan istilah Misteri dalam iman Kristen, karena misteri dikaitkan dengan pengalaman mistis yang dihubungkan dengan hal-hal konkrit dan faktual. Dalam pengembangannya, sifat mistik ini dikaitkan sampai penyatuan ekstasis dengan Realita Tertinggi. Struktur yang paling mendasar dari Misteri-Mistisisme Kristen ini dapat ditemukan dari sejak Bapa-Bapa Gereja sampai ke pemikiran Lady Julian dari Norwich, yang oleh Paul Tillich dikategorikan sebagai proses pewahyuan. Di abad pertengahan, perkembangan Mistisisme terlihat kuat di arus Dominikan. tokoh-tokoh seperti Meister Eckhart, Henry Suso dll. telah mempengaruhi John Nider (meninggal 1438) dalam bukunya “Formicarus.” Nicholas Cusa (1401-1464) lebih banyak dipengaruhi oleh Neo-Platonisme. Di Itali, arus ini dikembangkan oleh Catherine dari Sienna (1374-1480). Di Inggris arus ini dikembangkan oleh Richard Rolle (1293-1349), Walter Hilton (meninggal 1396) dan Lady Julian Norwich. Bernard dari Clairvaux (1090-1153) dapat dianggap sebagai representatif Mistisisme Kristen. Bernard menekankan pengalaman mistis. Pengalaman ini didasarkan pada iman, dan iman dimengerti sebagai antisipasi kehendak. Iman diciptakan oleh Roh ilahi, dan pengalaman yang mengikuti mengkukuhkannya. Timbul pertanyaan, mengapa orang menganut paham mistik? Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menganut paham mistik ini yaitu: 1) Kurang puas yang berlebihan. Artinya mereka merasa kurang puas jika hanya hidup dengan menghamba kepada Tuhan menurut ajaran agamanya. 2) Rasa kecewa yang berlebihan. Artinya, mereka sangat kecewa terhadap agama yang dianutnya tidak bisa mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya sehingga ia lari menuju ke kehidupan yang serba subyektif, abstrak dan spekulatif. Permusuhan terhadap Mistisisme ditimbulkan oleh beberapa alasan. Alasan-alasan utama menentang Mistiksime antara lain: (1) terlalu bersifat doktrin karya, yaitu keselamatan seseorang merupakan kerjasama antara Allah dan manusia. Dalam gagasan ini seseorang bisa turut mempengaruhi keselamatan dan pencerahan dirinya; (2) gagasan ini tidak melihat dosa sebagai kejahatan moral, tetapi sekedar hanyalah suatu kelemahan atau kekurangan-mengertian, sehingga penebusan tidak bergantung pada tindakan pendamaian Allah, tetapi pada suatu proses iluminasi atau pencerahan progresif; (3) pikiran ini sangat jauh dari keterikatan dengan prinsip inkarnasi secara historis dan perkembangannya, Gereja dan sakramen-sakramen; (4) Ia bersikap terbuka terhadap etika dan memegang sejenis asketisme, yang pada dasarnya merupakan penyangkalan terhadap doktrin penciptaan Kristen; (5) ajaran Mistisisme Kristen ini juga tidak sesuai dengan eskatologi Kristen, karena sifat mistik berhubungan erat dengan sifat beatifik, yaitu penglihatan akan hal-hal yang akan datang di dalam pengalaman mistik seseorang secara pribadi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka iman Kristen harus membedakan antara Mistisisme di dalam Kekristenan dengan sifat Misteri di dalam iman Kristen yang dimengerti oleh Bapa-Bapa Gereja. KESIMPULAN Iman Kristen harus sangat berhati-hati menghadapi perkembangan Mistisisme. Ungkapan “Misteri” dari Bapa Gereja, beberapa ayat-ayat di dalam Alkitab yang mengungkapkan imanensi Allah dan kesatuan mistis antara umat Allah dan Allah sendiri, tidak dapat dipersamakan dengan gagasan Mistisisme, baik Mistisisme Asia, Mistisisme Neo-Platonis, maupun Mistisisme Konkrit. Alkitab mengajarkan bahwa Allah (dalam hal ini Roh Kudus) memang tinggal di dalam diri orang percaya, sehingga terdapat kesatuan antara Allah dan manusia (Yoh 15:1-8; Rom 8:9-17). Tetapi sekaligus ayat-ayat itu juga membedakan Allah dan manusia. Ketika terjadi persekutuan antara Allah dan manusia, manusia tidak pernah mendapatkan natur ilahi. Tidak pernah terjadi peleburan secara mistis antara Allah dan manusia. Alkitab tidak pernah memberikan gagasan bahwa manusia akan melebur dengan Allah, bagaikan setetes anggur menyatu dengan anggur di dalam gelas. Peter Angeles di dalam kamusnya membedakan terminologi Mistisisme ke dalam dua bagian, yaitu: penyerapan total dan penyerapan bagian. Di dalam penyerapan total, maka “saya” terserap seluruhnya ke dalam Yang Semua (Yang Esa) itu, sehingga tidak lagi terdapat perbedaan subyek-obyek lagi. Di sini tidak lagi dibedakan antara pribadi yang mengalami dengan pengalaman itu sendiri. Sedangkan pada penyerapan bagian, maka “saya” ini harus berhadapan dengan Yang Semua (Yang Esa) itu. Pada keadaan ini, maka pribadi itu berdiri dengan jarak tertentu di hadapan Yang Semua. Ada kesadaran perbedaan antara diri yang mengalami dengan pengalaman itu sendiri. Dalam kasus ini, pengertian Mistisisme bisa sangat dekat atau sama dengan pengertian “Misteri kesatuan antara Allah dan manusia” yang ada di dalam Kekristenan. Kesamaan terminologi dengan dua pengertian seperti ini perlu diperjelas. Ramli SN Harahap fidei/gladys’07 201107 |
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Senin, 07 Februari 2011
”D U N I A M I S T I K” ( Keluaran 20 : 2-6; Ulangan 18 : 9-14 )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar