Jumat, 11 Februari 2011

PELAJARAN DARI MENARA BABEL

widgeo.net



Melalui keturunan Nuh dari jalur Sem, Kejadian 11 ini memberikan suatu pengajaran penting yang sangat berkesinambungan dengan pasal 9, 10 dan 12 sebagai kesatuan rencana Allah yang utuh. Kisah menara Babel sebenarnya tidak terlepas dari keseluruhan kisah kehidupan Nuh tapi justru menunjukkan suatu signifikansi penting. Di dalam Kej. 10:21-22, 24-25 dikatakan, “Lahirlah juga anak-anak bagi Sem, bapa semua anak Eber serta abang Yafet. Keturunan Sem ialah Elam, Asyur, Arpakhsad, Lud dan Aram. Arpakhsad memperanakkan Selah, dan Selah memperanakkan Eber. Bagi Eber lahir dua anak laki-laki; nama yang seorang ialah Peleg, sebab dalam zamannya bumi terbagi, dan nama adiknya ialah Yoktan.” Namun setelah peristiwa menara Babel, di dalam Kej. 11:10-26 hanya dicatat keturunan Eber secara khusus dari jalur Peleg karena Tuhan telah memberhentikan dan mencabut satu generasi dari silsilah keturunan Sem yaitu Yoktan dan keturunannya yang bersepakat untuk memberontak melawan Tuhan dengan mendirikan suatu kota dan menara yang menjulang tinggi hingga ke langit. Tindakan ini sesuai dengan janji Tuhan kepada Adam dan Hawa, Nuh dan Abraham yaitu bahwa hanya mereka yang taat dan takluk kepada Tuhanlah yang akan menerima berkatNya. Karena motivasi yang salah, menara Babel menjadi kutukan Tuhan karena kedegilan dan keberdosaan hati manusia.
Selain itu, pendirian menara Babel juga mengungkapkan penolakan manusia terhadap Tuhan dengan mendirikan suatu sistem baru di dalam sekularisme dan humanisme serta mulai menegakkan self-dependence (kebebasan dari keterikatan dengan Tuhan). Tindakan penolakan ini dilakukan dengan memanipulasi sifat keberagamaan supaya tidak terlalu menyolok. Namun bagaimanapun juga, inti dari segala usaha tersebut adalah pemberontakan terhadap Allah. Akar pemberontakan itu diawali semenjak manusia jatuh ke dalam dosa pada peristiwa penciptaan (Kej. 3) hingga berakhir pada peristiwa menara Babel.
Di dalam Kejadian 11:4 dicatat, “Juga kata mereka: marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” Dari pernyataan “sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit” dapat diketahui bahwa sebenarnya menara Babel didirikan untuk fungsi keberagamaan karena pada masa itu pengertian langit adalah tempat Tuhan berada. Karena itu, pendirian menara Babel sesungguhnya merupakan cetusan sifat keberagamaan yang Tuhan berikan di dalam diri setiap orang namun telah dimanipulasi karena manusia tidak bersedia dipimpin dan diarahkan oleh Tuhan. Setelah itu, di dalam Kejadian 12:2 dicatat suatu permulaan perjanjian baru antara Allah dan manusia melalui Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.” Ini merupakan jalur baru bagi mereka yang taat kepadaNya.
Di dalam peristiwa penciptaan, penetapan dan peraturan Tuhanlah yang diutamakan tetapi di dalam peristiwa Babel justru sebaliknya, penetapan manusialah yang dijalankan. Alkitab mengatakan, “Mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.” (Kej 11:6) Karena itu, penghakiman dan penghukuman Tuhan dijalankan pada masa itu. Dengan kata lain, menara Babel menyimpan sebuah kisah tentang manusia yang hidup di dalam dosa di mana pengertian dosa bukan sekedar pemberontakan terhadap Allah saja tetapi dosa yang diwujudkan dalam bentuk sikap yang menular kepada semua orang di dalam suatu society (masyarakat). Di jaman inipun, kalau tidak berhati-hati maka tanpa disadari, orang Kristen  dapat mendirikan menara Babel di dalam hidupnya.
Semenjak peristiwa penciptaan hingga pendirian menara Babel, terdapat 2 golongan masyarakat: sekelompok orang yang taat kepada Allah dan sekelompok lain yang memberontak terhadap Allah. Dua golongan masyarakat ini akan terus mewarnai dunia hingga kedatangan Tuhan yang kedua kali. Mereka yang tetap menegakkan kebenaran diri sendiri dan tidak mau taat kepada Tuhan bukan berarti bahwa mereka bebas melainkan tanpa disadari sedang menghancurkan diri sendiri. Di lain pihak, mereka yang taat dan tunduk kepada Tuhan akan berakhir di tanah perjanji­an.
Agama di Babel sebenarnya tidak bersifat theosentris melainkan anthroposentris (berpusat pada diri manusia). Walaupun seseorang sudah dibaptis dan mengaku percaya kepada Tuhan tapi masih ada kemungkinan bahwa keberagamaannya bersifat anthroposentris. Orang yang demikian, mengira dirinya mampu membangun nilai kerohaniannya sendiri. Ketika beribadah dan menyembah allah ciptaannya, sesungguhnya pada saat yang sama, ia sedang menyembah dirinya sendiri. Dengan demikian ia dapat berbuat seenaknya terhadap allah ciptaanya itu. Bila allah itu masih dapat memberikan se­gala sesuatu yang diinginkannya maka ia akan tetap memperlakukannya sebagai allah. Jika tidak maka ia dapat membuangnya dan menciptakan allah lain. Inilah manipulasi sifat keberagamaan! Ada kemungkinan hal ini terjadi di dalam Kekristenan namun caranya tidak akan sevulgar itu. Sebagai contoh, Tuhan Yesus akan dijadikan sebagai Tuhan dan Juruselamat tiap pribadi jika Ia mau mendengar dan mengabulkan setiap permohonan. Di satu pihak, orang Kristen mengaku bahwa ia takut akan Tuhan tapi di lain pihak ia berani melawan kehendak Tuhan.
Jika diperhatikan dengan cermat, ada beberapa pelajaran yang dapat diperoleh dari peristiwa menara Babel:
Pertama, semua rencana manusia tidak akan pernah bisa menginterupsi, mengganggu dan menggagalkan rencana Tuhan. Seluruh keturunan Yoktan mengatakan, “Marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” (Kej. 11:4) Padahal sebelumnya, Allah memerintahkan nabi Nuh, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi.” (Kej.9:1) Ini menunjukkan perlawanan manusia terhadap rencana Tuhan namun pada akhirnya rencana manusia tidak akan pernah berhasil dan rencana Tuhanlah yang tetap terlaksana. Salah satu prinsip dalam mengikuti pimpinan Tuhan adalah prinsip pintu terbuka dan tertutup. Kalau rencana manusia itu berkenan kepada Tuhan maka Ia pasti membuka jalan. Jika tidak maka Tuhan akan menutup semua pintu. Selain itu, ada beberapa tanda yang dapat dikenali jika jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan perintah Tuhan: (1) pada saat kehendak Tuhan tidak lagi diperdulikan dan dipertimbangkan di dalam setiap pergumulan; (2) pada saat kehendak Tuhan dengan sengaja dilanggar padahal telah diketahui sebelumnya; (3) pada saat kepentingan pribadi lebih diutamakan. Bagaimanapun juga, dengan melanggar perintah Tuhan bukan berarti rencana Tuhan dapat digagalkan begitu saja. Rencana Tuhan akan tetap berjalan sesuai dengan kehendakNya dan ia pasti menegur mereka yang melanggar namun Ia tetap memberi kesempatan untuk bertobat karena kasihNya yang amat besar kepada manusia.
Kedua, adanya sifat keberagamaan yang supervisial (telah dimanipulasi oleh manusia), yang pada akhirnya akan menghasilkan hidup yang sangat tidak berarti. Sifat keberagamaan semacam ini sebenarnya merupakan kedok untuk menyembunyikan keberdosaan diri sendiri dengan cara aktif membangun sesuatu yang nampaknya saja ber­sifat rohani namun tanpa memperhitungkan kehendak Tuhan.
Ketiga, peranan Firman Tuhan sebenarnya sangat menolong dalam mengarahkan setiap orang yang taat dan memperhatikan janji Tuhan di dalam FirmanNya sehingga pada akhirnya mendapatkan perteduhan sejati bagi jiwanya karena di sanalah akan diperoleh iman sejati. Di Babel, semua orang tidak sungguh-sungguh memperhatikan Tuhan dan FirmanNya. Ini ditunjukkan dengan sikap memberontak dan sengaja mencemooh serta meremehkan janji Tuhan. Orang semacam ini tidak akan pernah memiliki iman yang teguh sebab iman sejati hanya dapat diperoleh melalui ketaatan pada kebenaran Tuhan. Kesimpulannya, seseorang itu sungguh-sungguh beriman atau tidak, akan nampak ketika ia menghadapi kesulitan yang sangat menghimpitnya. Jika ia sungguh-sungguh beriman maka ia akan memiliki kestabilan dan keteguhan jiwa.
Keempat, pendirian menara Babel pribadi menunjukkan adanya Insecurity (ketidakamanan)  di dalam diri. Akibatnya, Firman Tuhan tidak lagi dipertimbangkan. Mereka tetap beribadah kepada Tuhan tapi bukan karena rasa cinta akan Tuhan melainkan karena takut membangkitkan amarah Tuhan. Itulah sikap insecurtity.
Kelima, Allah tetap konsisten pada prinsipNya bahwa Ia akan memberkati semua orang yang taat dan memakai mereka sebagai alat kemuliaanNya. Pada peristiwa Babel, Allah menghentikan jalur Yoktan tapi memberi peluang pada jalur Peleg. Ia juga akan menunjukkan kutuk dan hukuman bagi semua orang yang melawanNya. Prinsip ini tidak akan pernah lapuk oleh jaman karena Allah tidak akan membiarkan diriNya dipermainkan dan dimanipulasi. Amin.?


Jakarta, 28 Mei 2009




Pdt.Tuty Zastini Hutabarat,STh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar