Selasa, 04 Januari 2011

JAMITA MINGGU, 16 JANUARI 2011: Yohanes 1:43-51

widgeo.net
KEKRISTENAN ADALAH RELASI



HATORANGAN NI JAMITA

MINGGU 1 EPIPHANIAS 
MINGGU, 16 JANUARI 2011

Jamita : Johannes 1:43-51
Sibasaon : 1Johannes 5 : 11 – 13


Kekristenan adalah relasi (hubungan) dan relasi adalah segalanya. Tidak banyak teman-teman dari non-kristiani yang paham bahwa Kristianitas (Christianity) menempatkan RELASI dan bukan ATURAN-ATURAN AGAMA sebagaimana bagian dari ibadah yang paling utama.

Kristianitas meyakini hubungan pribadi melebihi filosofi dan aktifitas keagamaan. Relasi kita dengan Allah yang menciptakan kita adalah segala-galanya. Yesus berkata bahwa "hukum" yang paling utama adalah mengasihi Allah, lalu diikuti mengasihi sesama kita. Tiada lain, Hukumnya adalah relasi!
Dan ibadahnya bukanlah ritus-ritus aturan, melainkan relasi kasih diantara makhluk dan Khaliknya. Itulah system dan "aturan"nya yang terutama.

Bukankah aspek kehidupan kita yang paling pokok adalah relasi kita dengan orang-tua kita, suami, istri, anak-anak, teman-teman, calon pasangan kita, dst.?

Tanpa relasi, kita hanya menemukan kehidupan dan dunia yang hampa. Anggur pesta boleh berlimpah, musi
k boleh menggelegar, bahkan narkoba dan sex bisa berpora-ria. Namun, tanpa relasi, Anda akan ditinggalkan dalam ketandusan dan kehampaan jiwa. Bahkan relasi sesama manusia-pun tidak akan memadai tanpa disertai dengan relasi dengan Pencipta dirinya, Mengapa begitu?

Ya, Alkitab menerangkan kepada kita bahwa akar dari kehampaan adalah karena manusia memalingkan mukanya dari Allah, yang merupakan SUMBER HIDUP YANG SEJATI.

Kehidupan (yang sejati dan kekal) hanya berfungsi ketika kita ber-relasi intim dengan sumber-hidup, yaitu Yesus! yang menyatu dalam Bapa dan Roh
-Nya (Yoh. 8:42; 10:30; 15:26; 14:10, dll). Sebaliknya roh-jahat amat takut bila terjadinya pengenalan Allah oleh manusia, dan relasi antara manusia dengan penciptanya. Sebab itu akan berarti pertobatan manusia kepada Khaliknya yang berakibatkan kebangkrutan kerajaan-iblis. Itulah sebabnya roh-jahat memakai tangan-tangan manusia untuk menolak keseluruhan konsep-relasi ini. Ia menolah "Bapa" dan "Anak" dan "Roh Kudus". Keberadaan Anak Allah dianggap sebagai pencemaran kekudusan Allah yang tak mungkin beranak karena Ia tidak munkin ber-istri (padahal sama tidak ada orang Kristiani yang mengimani Allah yang beristri dan beranak). Kemudian keilahian Roh Kudus digeser menjadi hakekatnya seorang makhluk malaikat saja. Dan hubungan langsung dari anak manusia dengan Allahnya dimustahilkan, karena Allah bukan Bapanya siapa-siapa melainkan Dia-lah Dia yang tak terjangkau oleh makhlukNya. Bahkan terhadap Yesuspun didongengkan dalam berbagai versi tentang putusnya hubungan Yesus dengan murid-muridNya, mulai dari menghilangkan Yesus yang tersalib, atau jenazahnya yang dicuri, atau akhirnya pengutusan kenabianNya dialihkan ke negeri Timur entah kemana, dan dialihkan oleh Allah yang mana (lihat Artikel Tanggapan atas kritik terhadap penyaliban Yesus (2). Padalah dimana-mana Yesus selalu menjanjikan penyertaanNya kepada para pengikutNya sampai pada akhir zaman!

Roh-jahat tidak ingin adanya hubungan-kasih dan relasi rohaniah ini. Namun sejak kejatuhan Adam, Allah justru merancang pemulihan hubungan istimewa ini dengan meng-inkarnasikan FirmanNya kedalam dunia menjadi manusia yang digenapi dalam (Yoh
. 1:1,14). InkarnasiNya ini dimaksudkan agar bisa be-relasi dan berfirman langsung dengan mansuia. Sejak itu, tidak diperlukan lagi peran antara berupa nabi-nabi, atau agen penyampai-wahyu yang lain : Ibrani 1:1-3
Dengan membaca secara seksama ayat-ayat diatas, kita bisa mengerti bahwa Yesuslah yang menjalankan misi dan janji keselamatan Allah, langsung kepada murid-muridNya, dan kini kepada setiap manusia. Ia berulang-ulang menyerukan relasi langsung: "Ikutlah Aku" (Mat. 4:19 ; 8:22; 9:9; 19:21; Mark. 1:17; 2:14; 10:21; Luk. 5:27; 9:59; 18:22; Yoh. 1:43; 21:19; 21:22).

Ia tidak berkata : "Ikutlah Agama Musa" atau "Ikutlah Agama Abraham", atau bahkan "Ikutlah Agama-Ku". Tuhan Yesus tidak memanggil orang-orang untuk mengikuti sebuah agama, atau sekumpulan kaidah, ibadah atau upacarawi keagamaan yang jelas bukan merupakan sumber dan pusat penyelamatan.

Ia mengundang Anda dan saya untuk datang langsung kepada DiriNya, berelasi dengan PribadiNya yang merupakan sumber-daya dan pelaku penyelamatan secara kepastian!.

"Ikutlah Aku" versus "Ikutlah agamaku"


Mengikut Yesus sama sekali bukanlah ikut melangkahkan kaki secara lahiriah. Ketika Yesus mengingatkan Petrus untuk mengikutiNya menjelang kepergianNya ke Surga, itu bukan dimaksudkan agar Petrus mengikuti Dia sekalian ke Surga. Orang-orang yang dipanggil untuk ikut Yesus dimaksudkan agar menyerahkan hidupnya bagi DIRI YESUS yang merupakan pusat keselamatan yang sejati, yaitu 'Akulah jalan dan kebenaran dan hidup' (Yoh. 14:6). Keselamatan dan berkat-berkat Abraham adalah tertanam dalam diriNya, bukan dalam filosofi tentang diriNya. Karena itu ada perbedaan besar antara "Ikutlah Aku" (baca: Ikutlah Yesus, disingkat IA) dan "ikutlah agamaku" (baca: ikut sebuah agama, disingkat IAK). Di dunia ini kita berhadapan dengan 2 mazhab pengikut seperti itu, satu dan lainnya mencari keselamatan dengan cara yang sangat berbeda secara mendasar. Beberapa kesenjangan yang pokok kita ringkaskan disini :
1. Kesenjangan kedekatan dengan sumber Firman


Konsep (IA) memfokuskan Yesus sebagai Pribadi Firman ("Pemilik-firman") yang berfirman dan berelasi langsung dengan pengikut firmanNya, yang sekaligus menjadi saksi mata atas firmanNya.
Sebaliknya konsep (IAK) memfokuskan wahyu dari "Pemilik Firman" yang dipercaya telah didikte-kan kepada manusia, lewat perantara makhluk tertentu (baca: malaikat) untuk diteruskan kedalam ingatan manusia tertentu (baca: nabi) sebelum diucapkan kepada manusia. Disini jelas bahwa relasi antara Pemilik-firman dan pengikutNya adalah
sedemikian jauhnya, sehingga praktis tak dapat di-substansikan. Bahkan pengikut firmanNya sendiri tidak menjadi saksi mata atas firman Allah yang diwahyukan lewat 2 tahapan makhluk perantara.

Akibatnya, para pengikut (IA), kini dan sampai kapanpun dapat selalu berkomunikasi langsung dengan "Pemilik-firman", karena peranNya sebagai Imanuel selalu aktif dan langsung.
Sebaliknya menajdi pertanyaan terbuka, bagaimanakah penganut (IAK) kini dapat berdoa, bersembahyang, atau berkomunikasi langsung dengan "Pemilik-firman", mengingat dulu-dulu-pun Firman dan komunikasi Allah-nya tidak pernah diwahyukan secara langsung, kenapa Allah dulu-dulunya tidak berwahyu langsung pula, melainkan lewat 2 tahapan makhluk perantara?

2. Kesenjangan akan jaminan keselamatan


Konsep "Ikutlah Aku" mengakui Yesus Kristus sebagai pemilik dari pengikutNya. Mereka adalah doma-domba milikNya dan Dia adalah Gembala yang baik, Penyelamat (penebus) dan yang empunya Surga
. Yohanes 14:3 :Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.
Karena Yesus Kristus adalah sosok gembala, penyelamat dan pemilik Surga, maka para pengikutNya tidak akan tersesat tidak sampai ke tujuannya. Mereka ikut Yesus, dan itu sudah langsung masuk dalam gerbong kereta yang jalur-keretanya sudah benar sampai ke tujuannya, yaitu lurus ke Surga, dan tidak kebingungan dalam persimpangan memohon untuk ditunjuki lagi mana jalan yang lurus!.


Keselamatan adalah anugerah langsung dan pasti dari Sang Gembala kepada domba-domba yang berelasi dengan diriNya. Maka keselamatan-kekal bukanlah hasil-usaha manusia, karena manusia yang tidak kekal (yaitu domba yang lemah, rapuh dan rawan, yang amat tak berdaya dihadapan Tuhan) sungguh tak mampu mengusahakan sebuah keselamatan kekal bagi dirinya. Menyelamatkan diri kita sendiri saja kita tidak sanggup; maka bagaimana dapat kita menyelamatkan diri kita dari neraka, suatu kematian kekal akibat dosa-dosa kita?

Alkitab berkata, bahwa keselamatan itu anugerah Allah, bukan sebuah usaha manusia
(Ef. 2:8-9). Namun salah paham Anda jikalau menyangka bahwa dengan anugerah yang cuma-cuma ini lalu anak-anak Tuhan akan ber-ongkang-onkang kaki tidak usah berbuat apa-apa lagi, karena merasa sudah selamat, itu bukan namanya anak-Tuhan, melainkan anak durhaka, yang tidak tahu berterima-kasih!.

Membalas budi, bukan membeli budi

Justu karena kebaikan Tuhan itulah, kini kita rindu melakukan perintah dan kehendakNya. Perbuatan-perbuatan baik kita lakukan sebagai ungkapan syukur dan kasih kita atas keselamatan yang telah Dia berikan dengan Cuma-Cuma kepada kita, bukan untuk "membeli" keselamatan, lewat setoran pahala. Dengan kata sehari-hari, kita "membalas budi" bukan membeli budi!


Sebaliknya konsep (IAK) tidak memberikan jaminan-pasti keselamatan. Para pengikut sebuah agama mengandalkan usaha dan perjuangan mereka untuk memahami dan mentaati pernik hukum, rukun, ibadah dan aturan upacarawi keagamaan yang ditetapkan oleh Allah, agar dapat mengusahakan amal-pahala yang mudah-mudahan cukup melayakkan keselamatannya kelak. Disini Allah bersuara lewat nabiNya, agar manusia ber-action dalam tindak-penyelamatan. Sebaliknya Yesus Kristus telah bersuara dan ber-action! Yesus sendiri turun tangan turun ke dunia untuk menyelamatkan anak-anakNya yang tak berdaya keluar dari pembelengguan dosa yang mematikan. Dia yang mematahkan kematian, dan bangkit dan memberi hidup bagi mereka
yang menjawab undanganNya yang unik  "Ikutlah Aku"!.

3. Kesenjangan peluang keselamatan karena beda ilmu agamanya


Konsep (IAK) mutlak menuntut pemahaman ilmu agama bagi setiap pengikut yang benar, yaitu penguasaan pasal-pasal hukum, akidah, ritual ibadah, aturan-aturan upacarawi keagamaan, jenis pahala dan bobotnya dll. agar dapat mengoperasikannya secara benar dan maksimal apa-apa yang diharuskan dan yang seyogyanya dalam aturan agamanya. Juga apa-apa yang harus diharamkan, dan apa yang masih boleh ditoleransikan. Dengan demikian, tentu banyak aturan-aturan yang masih "tersembunyi" bagi para pengikutnya, baik yang tersurat, yang tersirat, perbedaan tafsir dan mazhab, dan bagaimanapun memang ada saja yang tidak mampu tahu semuanya!

Secara natural tuntutan demikian akan membagi para pengikut menjadi pihak yang lebih ber-ilmu dan pihak yang kurang berilmu dalam pemahaman agamawi yang menghasilkan pahala, yang pada gilirannya dapat menciptakan peluang keselamatan yang berbeda diantara keduanya. Khususnya bagi orang yang miskin ilmu-agama karena termasuk yang buta-huruf, kurang akal, cacat fisik tertentu, atau setidaknya bagi pengikut pemula atau petobat kasep (sesaat menjelang kematiannya).

Sebaliknya konsep (IA) berpusat pada relasi kasih. "Ikutlah Aku" adalah seruan kasih Yesus yang amat sederhana dan mendasar untuk menyelamatkan siapa saja yang merespon undanganNya untuk be-relasi. "Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat", demikian panggilan kasih Yesus kepada manusia (Mat
. 11:28 ). Panggilan keselamatan yang tidak ada urusannya dengan apakah dia si buta-tuli-bisu, ataukah dia "ahli Taurat". Tak peduli ia laki-laki atau perempuan, kriminal atau pemungut cukai, tahu cara dan ritual beribadah atau tidak. Ikut Yesus tidak memerlukan ilmu, melainkan Iman!

Untuk itu, marilah kita renungkan sejenak kisah seorang criminal yang tersalib disamping Yesus
(Luk. 23:33-43).

Pada detik-detik terakhir, si penjahat ini meminta Yesus menerima dia sebagai pengikutNya "Yesus, ingatlah akan aku". Maka Yesus serentak menganugerahkan penyelamatan penuh baginya : "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan bersama-sama dengan Aku didalam Firdaus" (Lukas 23:43). Disini tampak betapa Sang Firman seolah-olah kembali menghunjukkan Kalimat-kuasaNya : "Jadilah!". Sama seperti ketika Yesus menyembuhkan orang-orang sakit dalam sekejab, begitu pula Dia memulihkan keberdosaan si penjahat serta menganugerahkan keselamatan yang pasti, penuh dan seketika!. Tidak ada istilah "moga-moga". Tidak juga dengan masa percobaan! Atau ditimbang-timbang besaran pahalanya".

Sebaliknya, pada konsep "ikutlah agamaku" (IAK), Anda selalu akan bertanya : Apakah ada kemungkinan "keselamatan instant" (yang dapat dipertanggung-jawabkan) pada saat-saat yang teramat kritis ketika seseorang dieksekusi seperti pada contoh si-penjahat diatas?.
Apa yang harus dilakukan oleh si penjahat tersalib itu, yang "kasep tapi belum kasep", agar sedikit-sedikitnya dia mendapat kesempatan dan kemungkinan untuk selamat?

mendatangkan pertanyaan pada konsep (IAK) apakah "keselamatan-instant" seperti contih si penjahat diatas dimungkinkan? Apa yang harus dilakukan oleh si penjahat tersalib itu agar dia dapat selamat?

Relasi yang tak memerlukan ilmu-agama ini juga ditampakkan ketika Yesus terlihat memarahi murid-muridNya yang mencegah anak-anak kecil untuk menghampiri dan menjamahNya
(Mark. 10:14-16).

Anak-anak kecil tidak mempunyai ilmu, atau mungkin belum cukup ilmu, tetapi mereka mempunyai hati. Mereka belum mandiri "miskin", tak bisa berusaha, tak berdaya, tetapi tergantung sepenuhnya pada Bapak (dependent). Anak-anak kecil adalah kaum yang rendah hati, sederhana, polos, pemaaf, membawa damai, dan hati yang terbuka. Tapi lebih dari semua, mereka percaya total, beriman penuh kepada bapaknya. Mereka adalah pengikut yang paling banyak bagi seruan Sang Bapa "Ikutlah Aku!". Mental dan Alam jiwa demikianlah yang dinyatakan Yesus sebagai Yang Empunya Surga. Mereka tidak mengusahakan keselamatan, namun mereka diselamatkan dan mendapatkan berkatNya! Dan dalam kepolosan kanak-kanaknya mereka bersyukur, melompat-lompat, dan bersorak-sorai memuji Sang Bapa..... Betapa indahnya!.

"Bapa" adalah total relasi

Di keseluruhan Injil, Tuhan Yesus mengajarkan murid-muridNya untuk memanggil Allah sebagai BAPA dan tidak ada nama panggilan yang lain. Dalam doa kepada Allah, Yesus juga meminta mereka memanggil "Bapa kami" (Matius 6:9-13). Dalam bahasa Aram, Bapa disebut ABBA, suatu sebutan yang amat pribadi, intim, dan penuh dengan kasih dan pengampunan
( Rm. 8:15 ). Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!"
Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!"
Bandingkan dengan Markus 14:36. Itulah panggilan/sebutan yang menunjukkan relasi-pribadi dan langsung yang luar biasa dekatnya antara Allah Sang Pencipta dengan manusia ciptaanNya, suatu hal yang asing ada dalam kepercayaan/agama lainnya. Orang-orang lain tidak dapat mengakui Tuhan sebagai Bapanya, karena manusia hanya sebagai hambanya (budak) dari Tu(h)an yang Maha Besar, yaitu Allah.

Namun dalam Injil, terdapat sebutan BAPA sebanyak 186 kali (!) yang ditujukan kepada Allah. Apakah istilah ini dipalsukan sehingga tetap diingkari? Tuduhan itu sangat naïf sekali. Fakta ini sendiri telah menunjukkan betapa pentingnya sosok "Bapa" sebagai total relasi bagi manusia. Sebab dengan sebutan ini kita sekaligus ditempatkan sebagai anak-anak Allah yang dikasihinya, dan bukan budakNya yang tidak berhak atas belas kasihanNya dan warisan Kerajaan Surga, seorang budak hanya menunaikan tugas dan beban.

Ketika Yesus disalib, Ia juga memanggil nama Bapa
(Luk. 23:34, 46).

Panggilan "Bapa" dalam peristiwa penyaliban itu sekaligus membuktikan bahwa Yesus sendirilah yang tersalib (dan bukan orang lain) yang sedang memanggil BapaNya. Panggilan yang begitu intim dan mulia itu dapatkah diserukan oleh "sosok imitasi" (entah siapa), yang 'katanya' dimirip-mirpkan Allah diatas kayu salib demi mengelabuhi semua orang-orang Yahudi?!

Apakah Allah yang Mahabenar dan Kuasa itu kehabisan cara sehingga perlu mengelabuhi umatNya?! Termasuk murid-murid dan pengikutNya dan Maria ibuNya? Yang ikut menjadi saksi mata sampai kedekat salib Anaknya (reff. Yohanes 19:25-27). Jikalau begitu, Allah yang mengelabuhi itu tentu bukan Bapa yang diserukan Yesus!

Kembali ke hal "relasi dengan Allah" yang tidak menuntut penguasaan ilmu-ilmu agama untuk bisa diselamatkan. Harap jangan salah, Kristianitas bukan melecehkan ilmu, atau tidak bertanggung-jawab dalam pendewasaan rohani. Ikut Yesus adalah masuk dalam relasi dengan Yesus, dan mulai belajar mengasihi Dia, karena Dia telah mengasihi kita lebih dulu
(1 Yohanes 4:19). Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.

Secara natural kita akan bersyukur kepadaNya senang mendengar "suaraNya", dan belajar tentang firmanNya, yaitu Injil Kabar Baik. Kita menjadikan itu makanan rohani kita, yang ternyata memberikan berkat yang nyata dalam kehidupan baru kita bersama dia. Kita bertumbuh dalam iman, dan selalu ingin menyenangkan hati Tuhan, dengan melakukan apa-apa yang dipesankanNya dalam InjilNya.


Bukan usaha keselamatan, melainkan buah-buah keselamatan

Melakukan perintah-perintah Allah bukanlah usaha mencari keselamatan, melainkan buah-buah keselamatan! Dan alasan yang terbaik untuk itu hanyalah tiga kata sederhana, yaitu karena "Allah itu baik!" Kita mengasihi, karena Allah lebih dulu mengasihi kita (1Yoh
. 4:19).
Amin.



Ramli SN Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar