Minggu, 1 Maret 2015
Minggu Passion III - Reminiscere
MENYANGKAL DIRI DAN MEMIKUL SALIB
1.
Untuk menjadi pengikut Yesus membutuhkan pengorbanan.
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dan dijalani. Tahapan itu adalah
menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus. Ketiga tahapan ini merupakan
syarat mutlak bagi setiap orang yang telah memutuskan jalan hidupnya untuk
beriman kepada Yesus. Menerima Yesus adalah gampang dan mudah, tetapi
memeliharan dan mempertahankan menjadi mengikut Yesus adalah perkara yang
sulit. Menerima Yesus adalah murah sekali tetapi mengikut Yesus harus dibayar
mahal. Karena itu, dalam khotbah hari ini kita akan membahas secara mendalam
apa yang dimaksud dengan mengikut Yesus dan menjadi murid Yesus. Apa tanggung
jawab dan konsekuensi yang harus kita terima sebagai pengikut Yesus.
2.
Menjadi Murid Kristus artinya, mengikuti Dia. Ketika
Kristus memanggil para murid-Nya, Ia mengucapkan kata-kata perintah, "Ikutlah
Aku" (Matius 4:19 ; 8:22; 9:9; 19:21; Markus 1:17; 2:14; 10:21; Lukas
5:27; 9:59; 18:22; Yohanes 1:43; 21:19; 21:22). Murid Kristus yang sejati
adalah seorang yang mengikut Dia di dalam menjalankan tugas, dan akan terus mengikut
Dia sampai mencapai kemuliaan-Nya. Orang itu harus mengikut Dia, bukan
mengatur-atur Dia melakukan ini dan itu, seperti yang diperbuat Petrus yang
lupa daratan. Seorang murid Kristus akan mengikut Dia, seperti domba mengikut
gembalanya, seperti pelayan yang mengikut tuannya, prajurit yang mengikut
komandannya. Ia adalah orang yang menuju kepada tujuan akhir yang sama dengan
yang dituju Kristus, yaitu kemuliaan Allah dan kemuliaan sorga. Ia seorang yang
berjalan di jalan yang sama yang dilalui Kristus, dipimpin oleh Roh-Nya,
mengikuti Jejak langkah-Nya, tunduk kepada perintah-perintah-Nya. dan mengikuti
Anak Domba itu ke mana saja Ia pergi (Why.
14:4).
3.
Menjadi murid
Yesus tentunya punya aturan dan persyaratan. Apakah syarat-syarat mengikut
Yesus?
Pertama, ia harus menyangkal dirinya. Sebelumnya
Petrus menasihati Kristus untuk menyayangkan diri-Nya sendiri (Mat. 16 :22),
dan dia mungkin akan memberi nasihat yang sama untuk kasus yang serupa. Namun,
Kristus memberi tahu mereka semua. bahwa mereka harus sangat jauh dari
menyayangkan diri mereka sendiri, dan malah sebaliknya, harus menyangkat diri
sendiri. Dalam hal ini mereka harus mengikut Kristus, karena kelahiran-Nya,
kehidupan-Nya, dan kematian-Nya, semua merupakan tindakan penyangkalan diri
yang tiada henti-hentinya. Penyangkalan diri memang merupakan pelajaran yang
sulit dan keras, dan bertentangan dengan watak daging dan darah. Namun,
tindakan ini tidak lebih dari apa yang telah dipelajari dan dikerjakan oleh
Guru kita di hadapan kita dan untuk kita, keduanya untuk penebusan kita dan
sebagai petunjuk bagi kita. Lagi pula seorang hamba tidak tebih dari tuannya.
Perhatikanlah, semua murid dan pengikut Yesus Kristus harus menyangkal diri
mereka sendiri. Menyangkal diri artinya mengalahkan keinginan kita sendiri.
Barangkali tidak semua orang tidak memiliki harta benda atau kekayaan.
Tetapi setiap orang pasti memiliki dirinya atau kehendak sendiri. Setiap orang
bebas untuk memilih cara hidupnya dan biasanya diri sendiri itulah yang
dijadikan pusat perhatian hidupnya (segala sesuatu untuk saya)! Menyangkal diri
berarti pusat perhatian itu harus berubah. Bukan diri sendiri lagi yang
menjadi satu-satunya pusat perhatian. Menyangkal diri berarti dengan sukarela
melepaskan milik peribadi yang paling berharga yaitu keinginan dan kehendak
pribadi dan menempat-kannya berada di bawah kehendak Allah. Jika kita memutuskan untuk mengikut Tuhan
Yesus dengan sungguh-sungguh maka bukan kehendak kita lagi yang
berkuasa atas diri kita melainkan kehendak Kristus. Hal ini juga sejajar dengan
apa yang dikatakan Rasul Paulus dalam Galatia 2:20, “Namun aku hidup, tetapi
bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam
aku...”
Kedua, ia harus memikul salibnya.
Yang dimaksudkan dengan salib di sini adalah seluruh penderitaan kita, baik
yang kita derita sebagai manusia maupun sebagai orang Kristen, meliputi segala
kemalangan karena ketentuan ilahi, penganiayaan oleh karena kebenaran, setiap
masalah yang menimpa kita, baik karena berbuat baik ataupun karena tidak
melakukan sesuatu yang jahat. Segala kesukaran yang kita derita sebagai orang
Kristen sangat cocok disebut salib-salib, karena mengingatkan kita akan
kematian di atas kayu salib, yang dialami Kristus karena ketaatan-Nya.
Salib-Nya itu seharusnya membuat kita bersedia menerima segala kesukaran kita
dan tidak usah takut kepadanya. Salib-Nya itu seharusnya membuat kita sadar
bahwa sama dengan Dia, kita juga harus menanggung kesukaran, karena Dia juga
telah menanggungnya sebelumnya bagi kita.
Salib siapa
yang harus kita pikul? Banyak orang mengira itu adalah salib Kristus.
Dikatakan, “Barangsiapa mau mengikut Aku,
ia harus memikul salibnya”. Salib yang perlu kita pikul bukanlah salib
Kristus, melainkan salib kita sendiri. Mengapa Tuhan Yesus menyuruh kita
memikul salib kita masing-masing? Apa maksudnya? Salib adalah lambang
penderitaan. Tidak sedikit orang Kristen berpendapat bahwa memikul salib
berarti menerima dengan ikhlas penderitaan yang menjadi nasib mereka dan tidak
berusaha atau berjuang untuk mengatasinya (nrimo).
Namun bukan ini yang dimaksud Tuhan Yesus dan penulis Injil Markus
mengenai hal memikul salib. Ketika Yesus berseru kepada para pendengarnya agar
mereka memikul salib,Tuhan Yesus sebenarnya berbicara mengenai komitmen memikul
salib yang berlangsung seumur hidup. Biarpun pilihan itu harus mereka
bayarkan dengan penderitaan, penghinaan, bahkan dengan kematian sekalipun.
Mereka siap menanggung segala resiko sebagai keputusan untuk mengikut
Tuhan Yesus. Orang yang telah memilih
untuk mengikut Yesus dengan sepenuh hati dalam hidupnya, sadar bahwa hidupnya
pasti akan menghadapi banyak penderitaan, seperti hidup Tuhan Yesus. Memang
tidak ada orang yang menghendaki penderitaan. Kita juga tidak perlu
mencari-cari penderitaan. Penderitaan itu ada sebagai bagian dari hidup
manusia. Tetapi sebagai pengikut Tuhan Yesus, bukan penderitaan itulah yang
harus diperhatikan dan menjadi fokus dalam hidup kita.
Saya ambil
contoh sederhana, misalnya orang yang sedang jatuh cinta. Orang itu rela
berkorban dan melakukan apapun demi sang kekasih. Biasanya, ketika masih
sedang pacaran, kalau kaki kekasih terantuk batu saja, wah repotnya bukan main
dan penuh perhatian, “Sakit nggak kakinya?” Barangkali kalau disuruh
ngurut atau memijat kaki sang kekasih pun mau. Tapi kalau sudah menikah, jadi
suami istri, maka biasanya bukan perhatian yang diberikan melainkan omelan.
“Eh, mata elu di mana sih? Jalan aja terantuk batu”. Biasanya, kalau sedang
pacaran, menunggu kekasih berjam-jam tidak apa-apa- tidak terasa karena kita
melakukan untuk orang yang kita kasihi. Tetapi kalau sudah menikah disuruh
nunggu 15 menit saja sudah ribut, “Lama amat sih?”Saudara-saudara, sebagai
pengikut Yesus memang kita harus menderita tetapi penderitaan itu menjadi tidak
terasa bagi kita karena yang menjadi pusat perhatian hidup kita satu
saja, yakni Tuhan Yesus yang kita kasihi. Kita rela menderita demi Kristus yang
kita kasihi. Penyakit, musibah, persoalan rumah tangga dan persoalan lain
memang kurang menyenangkan. Tetapi kita tidak dapat menghindar dari
bagian-bagian yang kurang menyenangkan itu. Kita tidak boleh hanya mau bagian
yang enaknya saja. Pokoknya saya ingin menjadi orang Kristen supaya semuanya
berjalan dengan mulus dan lancar.Saudara-saudara, bagian-bagian yang tidak
enak dalam kehidupan ini pun harus kita pikul. Itu adalah salib kita. Sebagai
orang Kristen kita tidak menerima penderitaan sebagai nasib atau takdir. Sekali
lagi bukan berarti kita harus hidup menderita terus, bukan! Tetapi kita
memanfaatkan penderitaan itu sebagai pelajaran untuk menumbuhkan dan
mendewasakan ketaatan, ketergantungan dan iman kita kepada Tuhan.
Penderitaan adalah obat mujarab agar dekat dengan Tuhan.
Ketiga,
ia harus mengikut Yesus. Syarat ketiga yang Yesus katakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku...Ia
harus mengikut Aku”. Seorang pengikut Yesus senantiasa sadar bahwa
tempatnya adalah di belakang Yesus. Dalam budaya Timur Tengah di jaman itu,
seorang murid secara hurfiah memang akan berada di belakang gurunya. Baik pada
saat berjalan kaki maupun pada saat menunggang keledai. Sungguh tidak sopan
bagi murid untuk berjalan di depan atau di samping gurunya. Tetapi ajakan Tuhan
Yesus untuk berjalan di belakangnya tentu bukan dalam arti hurufiah. Dalam
pemikiran umat Israel di jaman Perjanjian Lama, mengikuti seseorang atau
berjalan di belakang seseorang mengandung arti mengiringi, mentaati, mencintai,
menyerahkan diri dan mengabdikan diri. Namun pada kenyataannya, sebagai murid
Tuhan Yesus kita sering lupa akan hal ini. Karena kesuksesan dalam usaha atau
keberhasilan dalam karier, kita menjadi lupa diri akan keberadaan kita
sebagai pengikut Kristus dan menjadi sombong. Seolah-olah kita tidak lagi
membutuhkan Kristus dalam hidup kita. Kita yang punya kuasa ,bukan Tuhan. Kalau
perlu, Tuhan yang kita atur untuk mengikuti kehendak kita. Kita di depan dan
Tuhan di belakang.Saudara-saudara, mengikut Yesus di sini berarti Tuhan Yesus
mengajak kita untuk berjalan di belakang-Nya dan mengikuti Dia. Mengikut Yesus
berarti menyerahkan hidup kita kepada Dia dengan segala konsekuensinya. Oleh
sebab itu, diperlukan iman untuk mengikut Tuhan Yesus. Bukan sekedar percaya
(To Believe) tetapi mempercayakan diri (To Trust). Kita percaya bahwa Tuhan
Yesus dapat menolong tetapi belum tentu kita mau menyerahkan diri untuk
ditolong.
Ada kisah
tentang seorang atheis. Satu kali, ia pergi naik gunung. Namun di tengah
perjalanan, ia terperosok hanpir jatuh ke jurang. Untung, ia masih bisa
bergantung pada potongan dahan pohon. Tapi ia tidak berdaya dan tidak berbuat
apa-apa untuk menyelamatkan diri nya. Dalam ketidakberdayaannya, ia berseru,
“Tuhan kalau Engkau ada, tolong aku.” Tapi sunyi tidak ada jawaban apa-apa. Ia
ulangi lagi, “Tuhan kalau engkau ada, tolong aku. “kali ini aku sungguh
berjanji mau percaya pada-Mu”. Tiba-tiba ada jawaban, Apa benar-benar, engkau
percaya kepada-Ku? Benar Tuhan tapi tolong aku segera”. “Kalau engkau percaya
aku, lepaskan peganganmu.” “Ah Tuhan yang benar aja, masa aku mesti lepaskan
peganganku.” ” Engkau percaya padaKu tidak?, lepaskan peganganmu” Beriman
kepada Tuhan harus disertai dengan perbuatan.
Itulah
ketiga syarat yang diminta Tuhan Yesus kepada setiap orang yang mau mengikut
Dia. Bagaimanakah dengan kehidupan kita sebagai pengikut Kristus? Di tengah
arus jaman yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kesuksesan dan
kemak-muran? Apakah kita masih setia menempuh jalan salib seperti yang
dilakukan Tuhan Yesus?Saudara-saudara , marilah kita merenung sejenak dan
bertanya kepada diri kita masing-masing. Apakah selama ini kita sungguh-sungguh
dan komitmen dalam hal pengikut Kristus? Memberi diri untuk
dipimpin oleh-Nya? Atau barangkali, kita mau berjalan sendiri di depan dan
berharap Tuhan mengikuti kita? Kiranya Firman Tuhan ini boleh menguatkan
dan menumbuhkan iman percaya kita kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus memberkati
kita semua
4.
Pertanyaan selanjutnya yang timbul dalam benak kita
adalah mengapakah kita harus menyangkal diri dan memikul salib? Ada beberapa
alasan mengapa kita harus menyangkal diri dalam rangka mengikut Yesus. Pertama, karena menyangkal diri dan memikul salib, berarti kehilangan nyawa di
muka bumi ini, adalah layak dilakukan sebagai konsekuensi pengikut Kristus.
Inilah yang hendak Markus jelaskan melalui paradoks kalimat dalam ayat 35 yang
sebenarnya, sangat sulit untuk dipaparkan. Dalam ayat 35 Markus hendak
menjelaskan bahwa mereka yang mengaku hendak mengikut Yesus jelas akan menapak
jalan penderitaan-Nya. Ini adalah konsekuensi yang layak, karena sesungguhnya
hanya di dalam Dia terdapat hidup yang sebenarnya. Tetapi, bagi mereka yang
menolak untuk menderita, maka mereka bukanlah pengikut Yesus yang sejati. Siapa
yang menolak ajakan Yesus berarti “mau menyelamatkan nyawanya” dan
konsekuensinya adalah jelas, “kehilangan nyawanya”. Mereka yang enggan
menyangkal diri dan memikul salib, tidak benar-benar serius untuk menjadi murid
Kristus, dan demikian tidak turut bergabung dalam damai yang sejati dalam Dia.
Kepada mereka yang mungkin menolak ajakan-Nya, dalam ayat 36 Yesus berkata,
“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?
Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Seolah-olah di
sini sedang ditunjukkan sebuah kontras, bahwa kenyamanan dan kemanan hidup di
dunia ini (yang diraih dengan menolak mengikut Kristus) tidaklah berarti! Dengan
demikian, pengikut Kristus tidak perlu takut menderita, menyangkal diri dan
memikul salib, karena kehilangan hidup di bumi ini adalah layak dialami.
Bukankah Ia juga tidak mendapatkan kenyamanan dan kehidupan semasa di muka bumi
ini? Kedua, Disini dapat kita lihat, menyangkal diri
dan memikul salib menyebabkan kita layak untuk bersama-sama dengan Dia di dalam
Kerajaan-Nya (meneruskan kontras dalam ayat 35 dengan ayat 38) Ingatlah
bahwa gambaran salib pada mulanya adalah tanda dari sesuatu yang memalukan,
gambaran dari penghinaan dan caci-maki. Maka dari itu, mereka yang enggan
memikul salib adalah mereka yang “malu
karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia
dan berdosa ini.” Mereka yang enggan menderita adalah mereka yang akan tidak
layak untuk bersama dengan Dia nanti, ketika “Ia datang kelak dalam kemuliaan
Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.” Karena mereka yang menolak untuk
menderita dengan Dia itu berarti menolak untuk dipermalukan, dan dengan
demikian tidak layak untuk bersama-sama dengan Anak Manusia yang sudah
dipermalukan dan menapak jalan kehinaan. Maka dari itu, ingatlah, bahwa jika
kita sebagai pengikut Kristus menderita karena Dia di bumi, itu akan membuat
kita pantas untuk bersama-sama dengan Dia, ketika “langit dan bumi yang baru”
itu tiba!
5.
Akhirnya, dalam
usaha untuk mengerti makna salib yang sejati, kita dapat mengerti arti salib
yang adalah tanda itu. Salib, yang ada di mana-mana, adalah tanda pengikut
Kristus. Dan, makna salib yang sesungguhnya lebih dari sekedar untuk bergaya.
Pengikut Kristus diminta untuk memikulnya. Memikul salib berarti menyangkal
diri. Memikul salib berarti mengalami penderitaan. Memikul salib berarti
dipermalukan oleh dunia. Memikul salib berarti menapak jalan kematian ragawi.
Semuanya sama, dengan apa yang telah dijalani Yesus pada abad pertama. Lalu,
bagaimana pembaca masa kini mendengarkan ajakan Yesus, dan merelasikan
pengertian akan arti salib itu dalam kehidupan sehari-hari? Kepada mereka yang
memakai salib di hari-hari dan kehidupannya, Markus menyerukan suara yang sama,
suara yang lantang dan tegas, suara yang menantang kita untuk memikul salib,
menyangkal diri dan mengikut Dia! Bergabung dalam jalan penderitaan-Nya! Dengan
demikian, apakah penderitaan kita? Apakah salib kita? Apa yang membuat kita
malu? Segenap orang Kristen, para murid-murid Kristus dipanggil untuk mengikut
Dia. Ikut Yesus berarti mengambil jalan yang berbeda dengan dunia. Itu berarti,
ketika kita berada di pekerjaan, kita melaksanakannya dengan cara, tindakan,
tujuan dan motivasi sesuai dengan nilai-nilai etika kerajaan Allah, bukan nilai
kerajaan dunia. Itu berarti, ketika kita berada di lingkungan akademis –kampus
mau pun sekolah, PMK atau pun PSK- kita menjalaninya juga dengan jalan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip pemuridan Kerajaan Allah. Nilai-nilai yang
bersendikan kejujuran, kasih, keadilan, kemanusiaan, egaliterian, dan
perdamaian. Kita berani memerjuangkan tindakan perlawanan terhadap sikap hidup
yang menghasilkan ketidakadilan, intoleransi, korupsi dan kebobrokan moral.
Kita berani menantang rezim-rezim korup yang tidak manusiawi, eksploitasi alam
demi kepentingan politik dan ekonomis. Inti dari jalan penderitaan di masa kini
adalah kita berani melangkah dalam jalan atau gaya hidup yang berbeda dengan
dunia. Dan jika bagi dunia, nilai-nilai kerajaan Allah yang kita junjung itu
adalah kebodohan, membuat kita terhina, menderita dan bahkan teraniaya secara
fisik, mental dan psikologis, itu adalah layak untuk kita pikul dan alami. Salib adalah tanda, identitas pengikut
Kristus yang mengambil bagian dalam jalan penderitaan-Nya, mengubahkan hidup
dan mendobrak konteks dunia. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab
kebenaran, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga. Berbahagialah
kamu, jika karena aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala
yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga,
sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. (Mat.5:10-12).
Yogyakarta, 31 Agustus 2014
Ramli SN Harahap
Pendeta
GKPA
Pascasarja
S3 UKDW Yogyakarta
HP 0812 1998
0500
harahapramly@yahoo.com
fidei-gladys
|
BLOG INI BERSIFAT TERBUKA UNTUK DIKOMENTARI DAN DIKRITISI DEMI KEMAJUAN WAWASAN BERPIKIR, DAN BERTEOLOGI MASA KINI
Jumat, 23 Januari 2015
KHOTBAH Minggu, 1 Maret 2015: Markus 8:31-38
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar