Jumat, 21 November 2008

Bahan PA Lansia

“BERSUKACITA DI DALAM KELEMAHAN KITA!”

Oleh: Pdt.Tuty Zastini Hutabarat,STh

Atas orang itu aku hendak bermegah, tetapi atas diriku sendiri aku tidak akan bermegah, selain atas kelemahan-kelemahanku. Sebab sekiranya aku hendak bermegah juga, aku bukan orang bodoh lagi, karena aku mengatakan kebenaran. Tetapi aku menahan diriku, supaya jangan ada orang yang menghitungkan kepadaku lebih daripada yang mereka lihat padaku atau yang mereka dengar dariku. Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur daripadaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12:5-10).

Masing-masing kita adalah unik – tiada duanya. Tidak ada dua orang di dunia ini yang persis sama, walau kembar sekalipun. Seseorang berkata bahwa ketika Tuhan selesai menciptakan seorang manusia, maka Dia segera merusak dan membuang “cetakan” yang Dia sudah pakai. Lalu, Allah membuat cetakan lain, yang baru sama sekali, untuk menciptakan manusia berikutnya. Dengan demikian, manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya, bahkan berbeda dengan seluruh manusia lainnya di muka bumi ini. Ini luar biasa! Bayangkan, pribadi kita berbeda dengan (sekitar) 6,6 milyar manusia yang masih hidup di dunia ini. Pribadi kita memiliki kelebihan-kelebihan bahkan keunikan-keunikan yang tidak dimiliki oleh mereka semua. Ajaib, bukan? Jadi, masing-masing kita merupakan pribadi yang sangat spesial, baik bagi manusia maupun bagi Tuhan.

Selain kelebihan-kelebihan atau kekuatan-kekuatan, ternyata kita juga memiliki kelemahan-kelemahan dalam diri kita. Semua orang memiliki kelemahan. Kita memiliki sejumlah kelemahan dan ketidaksempurnaan, baik fisik maupun mental kita. Biasanya sikap kita terhadap kelemahan kita adalah menyembunyikan, menyangkali, dan membencinya. Kita menganggap kelemahan kita sebagai suatu kutuk, yang menghambat kemajuan kita.

Namun, bagaimanakah sikap Allah terhadap kelemahan-kelemahan kita itu? Sesungguhnya, Allah tidak pernah terkesan dengan segala kekuatan dan kemampuan kita, yang membuat kita mencukupi diri sendiri. Tetapi Dia tertarik kepada mereka yang lemah dan mengakuinya. Orang seperti inilah yang disebut sebagai orang yang miskin di hadapan Allah”, artinya orang yang menyadari kekurangan serta keterbatasannya.

Rasul Paulus yang luar biasa dipakai oleh Tuhan, juga tidak terlepas dari kelemahan. Dia menyebut kelemahan itu sebagai “duri”. Banyak penafsir yang mengatakan bahwa yang dimaksud “duri” di sini adalah suatu penyakit yang dialami oleh Paulus. Beberapa juga mengatakan bahwa Paulus memiliki postur tubuh yang kurang menguntungkan (bungkuk), sehingga menjadi suatu kelemahan bagi dia.

Sebuah “duri” merupakan sebuah keterbatasan yang kita warisi. Keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki dapat berupa keterbatasan fisik, yakni berupa cacat, kelemahan tubuh, atau penyakit kronis. Juga dapat berupa kelemahan emosi, intelektual atau mental, berupa: trauma, ingatan yang menyakitkan, tempramen bawaan, keterbatasan kecerdasan, bakat, dan lain-lain.

Namun, Allah tidak pernah dapat dibatasi oleh kelemahan kita. Allah justru senang menaruh kuasa-Nya dalam bejana-bejana biasa (2 Korintus 4:7).

Bagaimana Seharusnya Sikap Kita terhadap Kelemahan-Kelemahan Kita?

Pertama, mengakui setiap kelemahan-kelemahan kita

Berhentilah berpura-pura, jujurlah tentang diri kita. Rasul Paulus merupakan orang yang jujur terhadap dirinya. Dalam tulisan-tulisannya, Paulus mengungkapkan kelemahan-kelemahannya secara jujur. Dia, misalnya, secara terus terang menceritakan tentang:

  1. Kegagalan-kegagalannya. “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Roma 7:19).
  2. Perasaan-perasaannya. “Hai orang Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka lebar-lebar bagi kamu” (2 Korintus 6:11).
  3. Keputusasaannya. “Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami” (2 Korintus 1:8).
  4. Ketakutannya. “Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar” (1 Korintus 2:3).

Kita harus menyadari bahwa kita tidak lebih daripada orang lain. Karena itu kita juga tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan.

Kedua, kelemahan-kelemahan kita bukan untuk ditangisi

Rasul Paulus berkata, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (ay. 9,10).

Kita – pada umumnya – lebih ingin dibebaskan dari kelemahan kita. Kita berdoa supaya Tuhan mengangkat semua kelemahan kita. Kelemahan kita anggap sebagai suatu “beban”. Kita lebih cenderung menangisi kelemahan-kelemahan kita.

Tetapi Alkitab justru menyuruh kita untuk senang terhadap kelemahan-kelemahan kita. Mengapa kita harus senang dalam kelemahan-kelemahan kita? Apakah faedahnya bagi kita? Ada alasan-alasan penting mengapa kita harus senang dalam kelemahan-kelemahan kita:

  1. Kelemahan-kelemahan kita membuat kita bergantung kepada Allah (ayat 10). Jangan pernah membatasi kuasa Allah dalam kelemahan-kelemahan kita. Bergantunglah sepenuhnya kepada Allah.
  2. Kelemahan-kelemahan mencegah supaya kita tidak menyombongkan diri, menjaga supaya kita tetap rendah hati (ay. 7). Peperangan yang dipimpin Gideon merupakan salah satu contoh nyata tentang hal ini. Allah sengaja menyaring pasukan Gideon menjadi sedemikian kecil, yakni tinggal 300 orang. Pasukan 300 orang ini akan menghadapi tentara musuh yang berjumlah 135.000 orang. Bayangkan! 300 orang harus menghadapi 135.000 orang. Itu sama dengan 1 lawan 450 orang. Mengapa Tuhan hanya mengijinkan 300 orang, dan bukan 32.000 orang? Alasannya adalah supaya orang Israel tidak menjadi sombong (Hakim-hakim 7:2).
  3. Kelemahan mendorong kita untuk bersekutu. Kita tidak dicipta sebagai keseluruhan, sehingga kita bisa melakukan segala sesuatu dengan kekuatan kita sendiri. Tidak seorang pun yang dapat mengerjakan segala-galanya dengan kekuatannya sendiri. Siapa pun kita, kita tetap membutuhkan orang lain. Sebaliknya, orang-orang lain juga sesungguhnya membutuhkan kita.
  4. Kelemahan-kelemahan kita justru akan “memberkati” orang lain. Siapa bilang bahwa kelemahan kita selalu akan merugikan orang lain? Seorang istri yang jelek misalnya, akan membuat suaminya menjadi lebih tampan. Bukankah suami yang postur tubuhnya pendek menjadikan istrinya terlihat lebih tinggi? Dan banyak contoh-contoh kelemahan-kelemahan kita yang membuat orang lain justru diberkati olehnya. Bukankah hal ini patut untuk kita syukuri?

Semua tokoh Alkitab, yang dipakai oleh Tuhan, bukanlah tanpa kekurangan. Musa misalnya, adalah seorang yang mudah marah. Namun Tuhan ubahkan menjadi seorang yang lembut hatinya (Bilangan 12:3). Gideon adalah seorang yang merasa tidak percaya diri. Tetapi Tuhan ubahkan menjadi seorang yang gagah berani (Hakim-hakim 6:12). Abraham, seorang yang ketakutan, cemas. Dua kali dia berbohong tentang istrinya. Namun Tuhan ubahkan menjadi bapa orang percaya (Roma 4:11). Simon adalah seorang yang mudah marah, cepat bimbang. Namun Tuhan ubahkan menjadi “batu karang” (Matius 16:18). Daud jatuh dalam dosa perzinahan. Tetapi dia menjadi orang yang berkenan di hati Tuhan (Kisah Para Rasul 13:22). Siapapun kita, Tuhan mau pakai kita secara luar biasa, seperti halnya Elisa, yang dipakai dua kali lipat dari Elia. Justru di dalam kelemahanlah kita dapat semakin mengalami kuasa Allah. Melalui kuasa Allah yang ajaib dalam kelemahan, kita dapat memuji dan memuliakan-Nya.

fidei/gladys 12092008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar