Jumat, 21 November 2008

Bahan Sermon Parhobas

”PERSEMBAHAN & PERSEPULUHAN”

Untuk membahas kedua topik ini sekaligus dalam pertemuan ini sebenarnya masih kurang mendalam sekali, sebab kedua topik ini beda-beda tipis, namun memiliki persamaan dan perbedaan. Ada orang mengganggab bahwa persembahan adalah juga bagian dari persepuluhan atau sebaliknya dengan memberi perpuluhan maka sudah dianggap memberikan persembahan. Apakah sebenarnya persembahan dan persepuluhan ini? Marilah kita membahasnya satu persatu.

PERSEMBAHAN

Mengapa Allah memerintahkan kita memberikan persembahan untuk pekerjaanNya ? Bukankah Dia kaya dan berkuasa? tidak bisakah Allah secara langsung menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dengan cara yang ajaib, semudah membalik tangan? Tentu Allah bisa, tetapi Dia tidak mau. Allah suka bekerja sama dengan manusia, Allah tidak mau bekerja sendiri, Ia ingin melibatkan manusia untuk melakukan pekerjaannya. Salah satu contohnya, Yesus memberi makan (Markus 6:35-44).

Untuk memberi makan 5000 orang laki-laki (belum termasuk wanita dan anak-anak), Yesus memerlukan persembahan dari apa yang kita punya, persembahan itu dari “seorang anak” dari persembahan yang sangat kecil ini, cuma “5 ketul roti dan 2 ekor ikan”. Dan dari situ Yesus baru mau melakukan mujizat berkat yang sungguh besar. Tuhan selalu menggunakan campur tangan manusia : “berapa roti yang kamu punya?” Dalam memberikan berkat, Allah selalu meminta apa yang ada di tanganmu, apa yang ada di genggamanmu? Apakah yang harus kita lakukan ? berikanlah persembahan yang terbaik yang kita punya. Allah suka kita terlibat dalam pekerjaanNya sebagai suatu maksud bahwa manusia adalah partner Allah atau rekan sekerja Allah, bukan sekedar ciptaanNya dan bertindak sebagai robot saja.


PERSEMBAHAN SEBAGAI TANDA KETAATAN & TANDA KASIH KEPADA TUHAN

Raja Daud sangat terkenal akan pengungkapan kasihnya kepada Tuhan yang banyak ditulisnya dengan indah dalam kitab Mazmur. Kecintaannya kepada Tuhan secara otomatis juga diwujudkan dalam pemberian persembahan yang penuh sukacita dan tulus (bd. 1 Tawarikh 29:9; 1 Tawarikh. 29:17). Apabila kita benar-benar mengasihi, tentu kita tidak akan pernah memper-hitungkan apa yang kita beri. Apabila kita mempunyai anak dan mencintainya, pernahkan kita menghitung-hitung berapa biaya makan, pakaian, pendidikan untuk anak-anak kita? Tentu tidak, bahkan kita memberi yang terbaik untuk mereka, membekali mereka untuk hari depan dengan hal yang terbaik yang kita punya. Apakah engkau mengasihi Allah? Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Dia telah memberikan bagianNya yang terbaik yang Dia punya. Pengorbanan Yesus Kristus yang membuahkan keselamatan yang kekal bagi manusia!


HINDARI PAMRIH DALAM MEMBERI PERSEMBAHAN

Secara tidak sadar banyak pengkotbah akhir-akhir ini membawa pola pikir jemaatnya untuk memberikan pesembahan kepada Tuhan supaya kita diberkati. Pengajaran di balik mimbar yang saat ini menggejala, dan cenderung menitik-beratkan pada berkat secara materi. Hal ini akan membawa jemaat pada pola pikir dan moral materialisme “berilah maka kau akan diberkati berlipat kali ganda” seperti ajakan salesman perusahaan dana investasi. Bahkan seperti menganggap Tuhan itu tidak beda dengan illah-illah lain yang memberikan rejeki. Ini bahkan memberhalakan Tuhan! Tetapi ketika kita menganggap bahwa Allah hanya sebagai sumber berkat, kita memberhalakan Dia menjadi illah yang sama dengan kepercayaan lain, sama dengan patung-patung, sama dengan dewa ini dan dewi itu. Kelihatannya benar walaupun mereka menggunakan banyak ayat-ayat yang mendukung yang diambil dari Alkitab tentang pemberian persembahan supaya kita diberkati (bd. Bilangan 23:19; Maleakhi 3:10-12; Amsal 3:9-10; 2Kor.9:6-9).

Walaupun Tuhan berjanji demikian, namun janganlah kita memberikan persembahan kepada Tuhan atas dasar pamrih supaya diberkati lebih ; “kalau aku memberi perpuluhan maka Allah akan membuka tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadaku sampai berkelimpahan” Ini jelas perbuatan jahat dimata Tuhan. Tidak salah apabila jemaat diajar “berilah maka engkau akan diberi”. Tidak salah mereka diajar dalam hal “perpuluhan yang mendatangkan berkat berlimpah” Tetapi hendaknya hal itu diimbangi dengan pengajaran pembentukan hati yang berkenan kepada Tuhan. Sehingga ketika mereka memberi, mereka memberi dengan hati yang mengasihi, bukan dengan tujuan untuk mendapat imbalan dari apa yang diberikannya. Penonjolan berkat jasmani dijadikan suatu bukti bahwa Allah mengasihi kita. Itu adalah penonjolan yang keliru. Maka secara tidak sengaja, jemaat digiring pada kehidupan yang materialisme. Jemaat yang kaya, merasa lebih diberkati dibandingkan jemaat yang miskin.
Kita percaya bahwa ada penghargaan untuk setiap ketaatan yang tulus dalam pemberian persembahan yang kita berikan kepada Tuhan, asalkan kita melakukan dan memberikan dengan motivasi yang benar. Berilah persembahan itu karena engkau benar-benar mengasihi Tuhan dengan tujuan untuk memuliakan Tuhan semata. Sedangkan ketaatan dengan motivasi adalah sebuah egoisme ; mau memberi persembahan karena yakin betul Allah akan memberkati dengan berlipat kali ganda. Berikan persembahan itu karena kita mengasihi Tuhan! (Yoh.14:15; 1Kor.10:31; bd. Kis. 5:1-11).

PERSEMBAHAN SEBAGAI HAK ISTIMEWA

Sesungguhnya adalah suatu hak istimewa yang mulia untuk memberi apa yang kita miliki bagi suatu hal yang baik termasuk kepada gereja (Tuhan). Banyak orang di dunia ini memilih untuk menerima dan mendapatkan semua yang mereka inginkan tanpa pernah mengembalikannya kepada masyarakat atau memberikan sesuatu apapun kepada orang lain atau kepada Allah. Disayangkan bahwa banyak orang saat ini memiliki sikap bahwa memberi kepada gereja adalah suatu kewajiban dan bukan hak istimewa. Beberapa orang akan lebih suka memberi untuk hal-hal di luar gereja dari pada menolong sesama Kristen.

PERSEPULUHAN

Pertama kali persepuluhan muncul dalam Kitab Suci dalam Kitab Kejadian ketika Melkisedek, seorang raja dan seorang “imam Allah Yang Mahatinggi,” mempersembahkan kurban roti dan anggur sebagai ucapan syukur atas kemenangan Abraham atas beberapa raja musuh. Sebagai persembahan kepada Tuhan, Abraham memberikan kepada Melkisedek “sepersepuluh dari semuanya” (bd. Kej.14). Namun demikian, persepuluhan ini tidak dipandang sebagai dimulainya suatu bentuk praktek baru, melainkan lebih sebagai menunaikan kebiasaan yang telah ada. Tampaknya, sepersepuluh dari penghasilan biasa diberikan kepada para imam dalam pelayanan mereka kepada Tuhan.

Hukum Taurat menetapkan persembahan persepuluhan. Orang mempersembahkan kepada Tuhan sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladang, dari anggur dan minyak, ataupun dari anak-anak sulung lembu sapi dan kambing domba (Ul 12:17, 14:22-29). Persepuluhan yang demikian merupakan ungkapan bahwa Tuhan telah dengan murah hati menganugerahkan berkat-berkat ini atas manusia, dan manusia sebagai balasannya mempersembahkan suatu kurban syukur sebesar sepersepuluh dari “hasil-hasil pertama.”

Kitab Bilangan juga mencatat bagaimana Tuhan menetapkan bahwa kaum Lewi, golongan imam dari kalangan bangsa Yahudi diserahi kepercayaan atas persepuluhan ini, “Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan” (Bil 18:21-24). Karenanya, persepuluhan ini merupakan sumbangan yang dipersembahkan kepada Tuhan dan dibagi-bagikan di kalangan kaum Lewi untuk menopang hidup mereka.

Menariknya, praktek persepuluhan entah sebagai suatu kurban demi menghormati Tuhan ataupun sebagai suatu pajak pembayaran kepada penguasa, adalah umum di kalangan masyarakat kuno Yunani, Roma, Lidia, Arabia, Babilonia dan Persia. Sebagian ahli kepurbakalaan beranggapan bahwa besarnya sepuluh persen yang menjadi dasar persepuluhan ini adalah karena angka 10 merupakan dasar bagi sistem numerik dan dengan demikian melambangkan totalitas. Oleh sebab Tuhan adalah penguasa totalitas, maka segala berkat yang diterima darinya merupakan anugerah dari Tuhan, dan karenanya sungguh merupakan tindakan syukur yang pantas untuk mengembalikan - sepersepuluhnya - kepada Tuhan.

Dalam sejarah awal Gereja, para imam mengandalkan sumbangan sukarela dari jemaat dalam menunjang kebutuhan mereka. Kebiasaan ini didasarkan pada perintah Perjanjian Baru: Yesus mengajarkan kepada para rasul untuk mengandalkan amal kasih apabila Ia mengutus mereka dalam tugas perutusan, “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10:9-10). Paulus juga memberikan perintah kepada komunitas Gereja Perdana untuk menyediakan kebutuhan para imam mereka, “Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu? Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1 Kor 9:13-14). Sumbangan yang demikian, tentu saja, merupakan sumbangan yang sukarela dan dalam batas kemampuan orang.

Namun demikian, seiring perkembangannya, Gereja mengeluarkan ketentuan guna menjamin sumbangan yang demikian, berdasarkan perintah Perjanjian Lama. Ketetapan pertama yang ada dalam catatan ditemukan dalam sepucuk surat para uskup yang mengadakan pertemuan di Tours, Perancis pada tahun 567 dan dalam kanon-kanon Konsili Macon pada tahun 585. Gereja memandang persepuluhan sebagai sesuai dengan hukum ilahi sebab ditetapkan oleh Tuhan Sendiri. Praktek persepuluhan menyebarluas ke seluruh Eropa. Setelah Reformasi Protestan dan kemudian teristimewa Revolusi Perancis, serta berkembangnya gaya hidup sekularisme dalam pemerintahan sipil, ketetapan mengenai persepuluhan tidak lagi diberlakukan. Di Amerika Serikat, dan juga di Indonesia, gereja-gereja Katolik mengandalkan sumbangan sukarela semata.

Walau kita tidak memiliki ketentuan mengenai persepuluhan, namun kita sungguh memiliki kewajiban untuk ikut serta menunjang kebutuhan-kebutuhan Gereja, entah di tingkat Pusat, Distrik, Resort ataupun Huria. Tiap-tiap kita hendaknya mengevaluasi apa yang kita lakukan dalam “memberikan kembali kepada Tuhan” lewat sumbangan kita bagi Gereja dan organisasi-organisasi amal kasih. Sebagai contoh, kita patut bertanya, “Apakah aku memberikan kepada Tuhan setiap minggu sekurang-kurangnya sebanyak yang aku belanjakan untuk hiburan, misalnya nonton film? Apakah aku memberikan kepada Tuhan setiap minggu sekurang-kurangnya sebanyak yang aku belanjakan di restoran-restoran?” Pertanyaan yang lebih baik, “Apakah aku memberikan kepada Tuhan setiap minggu sekurang-kurangnya satu jam dari 40 jam kerja?”

Patut dicamkan bahwa orang tidak hanya perlu mengevaluasi diri dalam hal sumbangan material yang diberikan kepada jemaat, melainkan juga sumbangan dalam bentuk waktu dan bakat. Paulus dalam Surat yang Kedua kepada Jemaat di Korintus (8:1-7) memuji kemurahan hati umat beriman di Makedonia, “Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan. Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka. Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus.” Hendaknya masing-masing kita lebih menjadi orang yang “memberi persepuluhan” daripada orang yang “memberi sekedar tip” kepada Tuhan, dalam memberikan kembali sebagian dari kelimpahan kita kepada Tuhan.

RENUNGAN

Persembahan perpuluhan sebenarnya berasal dari jaman Perjanjian Lama, ketika mereka belum mempunyai pemerintahan seperti jaman sekarang ini, pada saat itu bentuk pemerintahan Israel adalah Teokratis, yang berarti dibawah peraturan Allah. Sebenarnya ada 3 persembahan perpuluhan, 10% untuk suku Lewi, 10% untuk membiayai perayaan hari raya dan 10% lainnya untuk fakir miskin. Ini adalah persembahan wajib, sama seperti "pajak" yg kita harus setor kepada negara, perlu diketahui bahwa memberikan perpuluhan tidak dimulai oleh Taurat Musa (Kej 14-17-20) saja, tetapi juga telah dilakukan oleh bangsa-bangsa kuno lainnya, karena ini sama seperti pembayaran pajak. Tetapi sekarang kita sudah membayar pajak kepada negara, maka dari itu persembahan wajib itu sudah tidak ada lagi dan tidak ada paksaan lagi.

Persembahan seharusnya diberikan bukannya dengan paksaan, atau dengan ancaman dari bermacam ayat Alkitab. Persembahan harus diberikan secara suka rela, bahkan pada saat membangun kemah suci sekalipun Allah berkata kepada Musa: memungut bagi-Ku persembahan khusus; dari setiap orang "yang terdorong hatinya", (Kel 25:2), disini tercantum dengan jelas "tanpa paksaan" hanya bagi mereka yg terdorong hatinya, bahkan pernyataan ini diulang untuk kedua kalinya dalam Kel 35:5. Rasul Paulus sendiri menyatakan: "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan,.. (2 Kor 9:7) Jadi tanpa adanya paksaan, tidak ada ayat yg mengharuskan atau memaksakan kita untuk memberikan perpuluhan.

Walaupun demikian kita mendukung sepenuhnya persembahan untuk gereja entah itu 10% atau 100%, itu hak kita masing-masing, sesuai dengan keinginan dan kerelaan hati kita, tetapi harus ditentang sepenuhnya apabila ini dilakukan cara paksaan, apalagi kalau sudah harus menanda tangani surat hutang segala macam ala Mafia. Janganlah kita memperkosa umat dengan segala macam Ayat untuk mengingatkan kewajiban pembayaran upeti, apalagi dengan ancaman fatwa mati segala macam dengan menggunakan ayat dari Kisah para Rasul 5:1-11. Sehendaknya kita memberikan persembahan ini dengan penuh rasa sukacita, bukannya seperti di todong.



fidei’07 16/0807

Tidak ada komentar:

Posting Komentar