Kamis, 11 November 2010

MERAYAKAN NATAL DENGAN SEDERHANA

widgeo.net

MERAYAKAN NATAL DENGAN SEDERHANA

Ramli SN Harahap





Pada dasawarsa belakangan ini sudah terbiasa perayaan dan pesta natal dengan begitu mewah, semerbak, hingar binger, dan foya-foya. Natal seolah-olah pesta mencari dana untuk dihabiskan demi kepuasan sesaat dan sementara. Natal bukan lagi sebuah kesederhanaan, melainkan natal  berubah menjadi sebuah kemewahan pesta dan perayaan.

Mengutip pandangan Joas Prasetyo, terlalu sering Natal dispiritualisasi atau dirohanisasi sedemikian rupa hingga Bayi Yesus diletakkan ke dalam ruang hampa, bebas materi, yang berfungsi sebagai Penyelamat jiwa manusia. Hantu Plato agaknya terus membayangi Yesus, sejak kelahirannya. Plato adalah seorang filsuf besar yang hidup sebelum Yesus. Ia memetakan seluruh filsafat dunia dengan gagasan dasar bahwa roh itu unggul dan terjebak ke dalam tubuh yang kotor dan karenanya keselamatan tercapai ketika roh kembali ke dunia ideal dengan cara meninggalkan penjara tubuh. Ironisnya, sementara makna Natal dirohanisasi berlebihan, bentuk Natal, sebaliknya, dimaterialisasi besar-besaran hingga tanpanya Natal tak bisa lagi gemerlap, mewah dan mahal. Tangisan Bayi Yesus dibungkam lewat hadiah mahal. Keduanya-rohanisasi dan materialisasi Natal yang terselewengkan itu-sungguh membuat Natal popular tak lagi punya kesan, setidaknya buat saya.

Padahal, menurutnya, Natal perdana adalah demonstrasi ilahi bahwa daging, tubuh, sangat berharga di mata Allah. Natal adalah inkarnasi (Lt.: in, di dalam + carnis, daging). Natal adalah momen di mana daging, tubuh, diakui harganya, dimuliakan, serta dipandang dengan penuh takjub. Maka benarlah yang ditulis oleh Mary Earle.
Kita menemukan bahwa Allah mencintai tubuh, Allah bermain-main dengan materi, Allah berbicara kepada kita melalui atom dan molekul, melalui darah dan tulang. Melalui setiap ras dan budaya manusia. Kisah Kristen menuturkan kepada kita bahwa Allah memilih untuk menjadi manusia, memilih untuk mengenal kehidupan manusia sejak momen konsepsi hingga penderitaan maut.

Natal, dengan demikian menolak rohanisasi palsu Natal dengan menegaskan bahwa Roh Kudus itulah Roh sejati yang menghidupi dan menjagai rahim Maria, demi bertumbuhnya seorang bayi-berdarah dan berdaging. Pun Natal sejati menolak materialisasi palsu yang berusaha menyebar rumor bahwa peringatan ulang tahun seorang bayi miskin bernama Yesus harus dirayakan secara mewah dan anggun. Materialisasi palsu justru ditolak karena justru menggadaikan sifat jamak, lazim, dari materi itu sendiri. Materi dipoles berlebihan dan menjadi artifisial (bahkan superfisial). Materi menjadi berarti justru ketika diterima dan dihargai dalam keberadaannya yang biasa saja. “Allah mencintai materi,” kata C.S. Lewis, “Ialah Sang Penemunya.”

Lebih dalam Joas menjelaskan penghayatan natal itu dari tradisi Celtic. Bagi orang-orang Yunani, kata Paulus, Kristus adalah batu sandungan. Dan ini tepat. Kristus memang menolak spiritualisasi berlebihan dalam tradisi Gnostik Yunani, yang menguat dahsyat sejak Plato. Namun bagi tradisi Celtic, Kristus bukanlah batu sandungan, namun pemenuhan budaya mereka. Bagi masyarakat Celtic, yang sangat berorientasi pada alam dan hidup berkeluarga, kelahiran Sang Bayi Natal membuat mereka makin akrab dengan budaya mereka sendiri. Yesus bukanlah seorang asing.

Mary Earle bertutur tentang hiasan gua Natal di dalam budaya Celtic yang selalu menghadirkan sosok seorang perempuan sederhana, seorang pencuci, bersama-sama dengan Maria dan Yusuf. Yesus, bagi mereka, lahir di dalam hidup sebuah keluarga, sebuah rumah tangga pada umumnya. Yesus lahir dalam suasana keseharian hidup. Mary Earle selanjutnya menulis: “Kelahiran Yesus mengingatkan kita bahwa setiap rumahtangga sungguh dikasihi Allah.” Natal adalah keseharian yang diangkat dan dimuliakan ke jenjang di mana semua yang remeh dan sepele menjadi bermakna dan lahir ke dalam kawasan kemanusiaan yang sama sekali baru.

Kita juga banyak menemukan paradoks di dalam perayaan dan pesta natal jaman ini. Kita bisa menyaksikan beragam paradoks di dalam Natal. Natal adalah momen di mana rahmat Allah menghujani kita dengan penuh melimpah, dengan surplus, sekaligus hadir dengan cara mengosongkan diri serendah-rendahnya. Paradoks penuh-kosong ini sungguh mencengangkan. Natal juga menghadirkan paradoks lain yang sekaligus mengizinkan kita untuk mencicipi misteri ilahi: Sang Firman, yang di dalam dan melalui-Nya segala sesuatu diciptakan itu, kini justru menjadi bagian dari ciptaan.

Di satu sisi, seluruh kenyataan diciptakan oleh Allah melalui dan di dalam Kristus. Maka, di dalam keyakinan Kristen, penciptaan berlangsung di dalam Kristus. Paulus menegaskan hal ini dalam Kolose 1:16, “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Dan ia pun melanjutkan, “Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (ay. 17). Jika kita berupaya memahami teks ini dalam perspektif yang lebih fisikal, maka dengan mudah kita mengatakan bahwa seluruh ciptaan itu berada di dalam Kristus. Kristus menjadi he khora ton zonton, penampung seluruh yang hidup (bahkan semua yang ada), kata sebuah tulisan kuno di sebuah biara di Istanbul.
Namun, di sisi lain, inkarnasi menegaskan bahwa Sang Firman itu justru kini lahir dalam sosok seorang bayi bernama Yesus, di sebuah titik spasial dan temporal tertentu. Singkatnya, Natal perdana meletakkan Yesus Kristus sebagai bagian dari semesta. “Firman itu telah menjadi manusia (daging), dan diam di antara kita,” kata Yohanes 1:14. Paulus juga menyadari bahwa, sekalipun segala sesuatu berada di dalam Kristus, namun Kristus yang sama dapat disapa oleh manusia, karena Ia berada di dalam dunia. “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kol. 2:9).
Misteri yang paradoksal ini memang tak perlu diselesaikan. Masalah memang bisa diselesaikan, namun tidak demikian dengan misteri. Misteri bukan untuk diselesaikan, namun untuk diterima dan dimasuki. Doktrin dan kata memang bisa membantu kita dalam memahami secuil kebenaran yang paradoksal ini. Namun doktrin dan kata tak bisa menolong kita untuk menghidupi paradoks ini. Maka, tak bisa tidak, kita hanya mampu menghayatinya lewat nada. Lewat doksa: puja dan puji.

Lebih aneh lagi, orang Kristen saat ini tidak malu lagi “mengemis” kepada pemerintah, instansi swasta, donateur, perusahaan hanya untuk melaksanakan perayaan dan pesta natal baik yang bersifat natal di kalangan gereja maupun natal yang bersifat ekumenis. Dan sungguh disayangkan juga ada segelintir orang memakai kesempatan perayaan dan pesta natal mencari dan meraup untung dari pelaksanaan pesta ini. Sungguh ironi jika hal-hal seperti ini terus dipertahankan dalam rangka merayakan natal kelahiran Kristus di dunia ini.
Jika kita melihat kelahiran Yesus di dunia ini, Yesus lahir di tempat yang hina dan sederhana, tanpa ada panitia. Tidak ada pesta dan kemewahan di dalamnya. Dia lahir memberikan diriNya untuk keselamatan dan kebahagiaan orang lain. Yesus meninggalkan singgasanaNya, meninggalkan keagunganNya demi kesenangan dan keagungan manusia.
Saat ini, orang Kristen cenderung merayakan natal dengan mencari dan meminta-minta kepada orang lain agar perayaan natal bisa dilaksanakan. Natal akhirnya menjadi momok yang menakutkan. Dengan natal, manusia ditakuti dan dibebani dengan persoalan uang, baju baru, makanan, hadiah dan lain sebagainya hanya untuk kesenangan dan kepuasan semata bukan untuk kesenangan manusia dan orang lain lagi.
Karenanya, sudah saatnya kita merayakan natal dengan sederhana tanpa dibebani dengan sesuatu. Mari kita merayakan natal dengan membawa berita damai sejahtera bagi dunia, bagi orang lain, bagi jemaat kita. 

Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar