Kamis, 11 November 2010

TERHADAP PENDANGKALAN MAKNA NATAL (Sebuah Refleksi atas Perayaan-Perayaan Menyongsong Natal)

widgeo.net
TERHADAP PENDANGKALAN MAKNA NATAL
(Sebuah Refleksi atas Perayaan-Perayaan Menyongsong Natal)
Pdt.A.B.Marpaung,M.Min,M.Th*



1. Pendangkalan nilai-nilai adalah sebuah efek dari sikap yang mendewakan materi, kemikmatan di tengah-tengah masyarakat modern-global. Manusia direduksi menjadi sama seperti barang atau angka, nilai-nilai diukur dengan uang dan keuntungan egoistik, sukses diukur dari timbunan harta dan kuasa, cinta dipahami sebatas seks, orang lain dipandang sebagai korban dan objek, lingkungan hidup diperlukan sebagai objek eksploitasi tanpa batas, hubungan antarmanusia menjadi transaksi untung rugi. Semuanya mengarah kepada penghancuran dan kebinasaan.

2. Kecenderungan yang menghancurkan ini merasuki seluruh dimensi kehidupan manusia termasuk kehidupan religius. Tidak heran kalau dalam kehidupan keberagamaan pun kita temukan sikap yang semakin materialistik, pragmatis, dan hedonistik. Kesuksesan seorang pelayan diukur dari kemegahan pembangunan pisik gereja-gereja yang digagasinya, keuangan yang menggunung, pertambahan aset, besarnya jumlah jemaat, besarnya jumlah persembahan, kemampuan mengorganisir kebaktian kebangunan rohani (KKR) dan sebagainya. Kita terlalu mengejar simbol-simbol agama dan mengabaikan bahkan mengorbankan nilai-nilai iman tanpa memperhatikan tingkat kesalehan umatnya.

3. Salah satu penampakan dan perwujudan keberagamaan kita yang mengalami pendangkalan serius yang mengurangi nilai-nilai iman kita adalah kehidupan liturgi Natal/Ibadah Natal. Liturgi Natal yang diwariskan gereja berabad-abad dengan kekayaan spiritualnya yang sangat mendalam semakin tidak dipahami maknanya. Tradisi liturgi dipandang sesuatu yang sudah out of date, membosankan sehingga dengan mudah diubah-ubah tanpa mengikuti prinsip-prinsip teologi yang sudah baku atas nama modenitas berdasarkan „selera“ atau „ tuntutan“ zaman. Lihat saja perayaan Natal yang dikemas oleh kumpulan muda/i atau kelompok marga dalam satu perkampungan amat sering disetting tanpa pegangan liturgi yang benar dan rapi. Asal dilaksanakan saja. Akibatnya liturgi bukan lagi sebagai medium perjumpaan Tuhan dengan manusia tetapi telah bergeser menjadi medium pemuasan hasrat religius yang serba dangkal dan memberi nikmat sesaat.

4. Tanda-tanda pendangkalan terhadap makna Natal tidak disadari namun dilakukan secara kollektif. Bahkan pendangkalan itu mungkin dipahami sebagai proses  perkembangan. Sampai tahun 1950-an pada umumnya perayaan Natal berlangsung di gedung-gedung gereja yang dilaksaakan oleh jemaat lokal/setempat. Selain itu sekolah-sekolah dan universitas-universitas juga melakukan hal yang sama. Pada tahun 1960-an berkembang yang memberi kesan bahwa perayaan-perayaan menyongsong Natal memasuki instansi pemerintahan. Sehingga tidak mengherankan kalau pemerintah turut ambil bagian untuk mengemas perayaan Natal bahkan sampai pendanaan pesta Natal pun hampir di setiap instansi dapat dukungan. Hal ini dilakukan seiring dengan kondisi runyam politik Negara yang terancam oleh gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sehingga ritus-ritus keagamaan dipandang penting sebab berkemampuan untuk menentramkan gejolak gerakan dimaksud melalui perayaan-perayaan Natal. Pada tahun 1970-an  sejajar dengan perkembangan perayaan Natal oleh instansi pemerintahan, muncullah perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara tersendiri-sendiri oleh kelompok marga, kumpulan sosial di tingkat RT/RW atau lorong-lorong dan Wijk. Di tingkat jemaat lokal berkembang perayaan Natal: kelompok kategorial kaum ibu, kaum Bapa, Muda/i bahkan Majelis Jemaat dengan keluarganya. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa dalam masa Natal itu seseorang termasuk dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan Natal; atau mungkin satu orang atau satu keluarga terlibat 5-10 kali ber-Natal, karena selain termasuk ke dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan, juga menjadi undangan pada berbagai perayaan-perayaan Natal itu sendiri. Demikianlahlah  terlihat kesibukan yang luar biasa pada masa Natal, banyak orang menjadi harus simpang-siur. Hal ini termasuk sebagai unsur-unsur yang memperdangkal, memperkerdil makna Natal itu sendiri. Karena orang yang terlalu sering melakukan pekerjaan yang sama dalam sekope waktu tertentu pasti akan memunculkan rasa bosan, jenuh, menganggap hal yang bisa-biasa saja dan tidak melihat makna penting yang terkandung di dalam ibadah itu. Malah akan membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain yang pada gilirannya sampai keperlombaan yang tidak sehat. Kondisi ini jelas merupakan gambaran pendangkalan makna Natal itu sendiri. Justru itu tidak mengherankan jika ditemukan di beberapa gereja pembatasan perayaan menyongsong Natal, selain Natal anak-anak Sekolah Minggu yang ada adalah Natal Umum. Natal kategorial dan kumpulan lainnya dihindari sebab disadari bahwa perayaan Natal masa kini bukan lagi memupuk spiritualitas dan iman umat sebaliknya merupakan proses pengerdilan dan pendangkalan makna Natal itu sendiri. Lebih jelasnya pergeseran yang berkonotasi pendangkalan itu didiskusikan dalam nomor berikut.

5. Pergeseran yang ditimbulkan oleh „cara“ pelaksanaan Natal disinyalir sebabkan oleh pelaksanaan yang dilakukan di luar jemaat yang melibatkan anggota-anggota jemaat dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Di sana terjadi penggabungan cara-cara perayaan Natal.  Misalnya di dalam suasana Natal itu kelihatan unsur yang mencari kenikmatan dengan disertakannya makanan kecil dengan alasan untuk menghangatkan suasana yang sekaligus menyertakan hiburan-hiburan yang lama-kelamaan justru nilai makan dan nilai hiburannya yang lebih menonjol dan justru dianggap sesuatu yang lebih penting bukan lagi nilai Natal yang hakiki. Variasi makan dan hiburan tersebut mendapat perhatian utama antara tahun ke tahun. Seturut dengan pergeseran tersebut tidak kalah dalam pandangan jemaat betapa pentingnya unsur dekorasi permak-permik ruangan ibadah pesta Natal. Acara yang dirangkai sedemikian dengan sendirinya menuntut tata krama tersendiri sebagaimana layaknya, sehingga personil yang terlibat di dalamnya memiliki tugas dan tanggungjawab yang semakin beranekaragam seperti penerima tamu, petugas dalam melayani snack ringan terlebih yang menanggungjawabi makanan, dan sebagainya. Terkait dengan personil penanggungjawab bidang tersebut penampilan, berhias pun menjadi salah satu yang dianggap yang tidak bisa diabaikan bahkan sangat menentukan. Karena sedemikian pentingnya tidak jarang perayaan Natal waktu pelaksanaannya tertunda karena para penanggungjawab acara telat dari ruang salon. Seluruh perkembangan ini berakibat langsung pada biaya penyelenggaraan Natal yang berarti bahwa Natal tampil bagaikan suatu pesta mewah. Selain itu penekanan aspek hiburannya semakin menyusup ke dalam ibadah seperti  tari-tarian, drama, penyanyi tunggal yang memberi kesan bahwa ibadah Natal itu adalah semacam ajang hiburan spektakuler semata bukan lagi sebuah setingna ibadah yang menampilkan sosok Natal Yesus yang sebenarnya.

6. Karena menampilkan nuansa hiburan dan permak-permik dekorasi yang membutuhkan dana besar tidak heran di beberapa tempat yang persis dipingggir jalan besar perangkat panitia Natal mengemis kepada setiap kenderan yang lewat memohon sumbangan dengan menjual murahan nama Natal. Seruruh pergeseran ini menjadi turut mengerdilkan, mendangkalkan makna Natal yang sesungguhnya.

7. Pemahaman teologis Natal yang sebenarnya bukan mau merayakan ulang tahun atas tanggal lahir Tuhan Yesus saja. Lebih jauh dari hal tersebut bahwa makna Natal adalah perayaan perbuatan Allah untuk menyelamatkan manusia melalui kematian dan kebangkitan-Nya di mana Kematian dan Kebangkitan itu menjadi „melahirkan“ Natal. Dengan kata lain bahwa Natal menjadi penting hanya oleh karena adanya Kebangkitan Tuhan Yesus, kebangkitan-Nya pun ada dilatarbelakangi oleh kematian-Nya. Oleh karena itu Natal sebenarnya harus dilihat dalam rangkaian kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Artinya bahwa soal tangal lahir tanggal berapa dan bulan berapa persisnya tidak menjadi sesuatu yang terpenting bagi orang kristen sebab yang paling utama bahwa Allah benar-benar menjadi manusia melalui proses kelahiran-Nya dalam rangka keselamatan Dunia. Kelahiran-Nya amat sederhana, dia lahir di kandang domba dan tidak disambut dengan pesta mewah dan ruang tempat lahirnya tidak mengalami perubahan dekoratif. Namun demikian kelahiran-Nya menyentuh seluruh lapisan manusia. Akhir kata disampaikan Salam Natal 25 Desember 2010 dan Selamat Tahun Bari 1 Januari 2011. 

Tuhan Yesus memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar