ALANGKAH DALAMNYA KEKAYAAN,
HIKMAT, PENGETAHUAN ALLAH
Roma
11: 33 - 12 : 8
JUMATAGUNG
Jumat, 3 April
2015
audara saudari yang
terkasih dalam Yesus Kristus, ketika membaca nas yang sudah ditentukan saat ini,
yang diambil dari 2 bagian pasal yaitu pasal 11 dan 12, maka ada kesan
seolah-olah apa yang telah dibicarakan dalam pasal 11 tidak berhubungan dengan
apa yang dibicarakan dalam pasal 12, namun tetap harus dibuat dalam satu
pemahaman thema alangkah dalamnya kekayaan hikmat, pengetahuan Allah. Pasal 11
memang menjelaskan kekayaan hikmat Allah, akan tetapi pasal 12 membicarakan
tubuh sebagai persembahan yang hidup. Ayat 36 pada pasal 11 agaknya dapat
dipakai sebagai jembatan, karena ayat tersebut berbicara tentang kedaulatan
Allah, yaitu segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia. Meskipun
demikian, penjelasan nas tersebut sangat perlu dibuat secara terpisah.
Setelah Rasul Paulus
menguraikan bahwa hanya ada satu jalan untuk dibenarkan, yaitu melalui iman
saja, dia harus menghadapi masalah bangsa Israel, suatu bangsa yang tidak rela
merendahkan dirinya untuk mengikuti jalan iman tersebut. Sesuai dengan Injil
Kristus yang diberitakan dan diuraikan Rasul Paulus, mereka harus ditolak, dan
tidak dibenarkan. Tetapi kenyataan ini menimbulkan suatu masalah. Dalam pasal
8:31-39 Paulus menegaskan kesetiaan Allah yang membenarkan orang percaya,
tetapi rupanya dalam pasal 10 dia berkata bahwa Allah yang telah memilih bangsa
Israel, Dia yang telah mengadakan janji-janji yang kekal dengan Israel,
sekarang sudah menolak mereka karena mereka tidak mau merendahkan diri mereka
dan percaya kepada Tuhan Yesus sehingga mereka dapat dibenarkan. Seolah-olah
Dia yang dikatakan setia dalam pasal 8, tidak setia kepada Israel dalam pasal
10. Pasal 11 merupakan tanggapan Rasul Paulus pada masalah tersebut.
Ada hal menarik ketika membaca pasal sebelum
nas ini. Paulus mencoba menjelaskan bahwa Israel yang sekarang ini mengejar
kebenaran melalui perbuatan, yaitu Israel yang pada umumnya menolak kebenaran
melalui iman, akan dibenarkan juga, dan itupun melalui iman! Ajaran Rasul
Paulus dikuatkan, karena ajaran tersebut didasari pada kemurahan Allah. Kita
dipilih dan dibenarkan, bukan oleh karena sesuatu yang baik dalam hati kita.
Demikian juga Israel dipilih, dan akan dibenarkan, bukan oleh karena sesuatu
yang baik dalam mereka, tetapi oleh karena kemurahan Tuhan Allah.
Dengan demikian nas kita
mencoba memberikan jawaban, bahwa memang segala keputusan adalah di tangan Dia
yang memiliki kekayaan hikmat dan pengetahuan. Jika keturunan Yahudi mencoba
mengklaim bahwa mereka adalah yang benar karena menjaga etika atau tingkah laku
dalam hukum taurat Tuhan, maka Paulus menjawabnya dengan menyatakan bahwa bukan
itu yang menentukan akan tetapi tetap keputusan ada di tangan Allah. Allah yang
sempurna (penuh) adalah Allah yang memiliki keputusan dan jalan yang sangat
berbeda dari manusia (bdk. Yes. 55:8). Kata "keputusan" di sini di
dalam King James Version diterjemahkan dengan kata "judgment"
(penghakiman), dalam bahasa Yunaninya adalah krima (yang mungkin ada
hubungannya dengan kriminal). Mengapa Allah yang sempurna adalah Allah yang memiliki keputusan
yang tak terselidiki dan jalan yang tak terselami? Karena keputusan dan jalan
Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan keputusan dan jalan manusia selalu
bersifat kesementaraan. Dalam konteks ini, Paulus ingin mengingatkan baik orang
Yahudi maupun non-Yahudi melihat akan kesempurnaan Allah yang keputusan
(penghakiman) dan jalan-Nya sangat luar biasa dan dahsyat, dan bukan melihat
pada kehebatan diri. Ketika manusia melihat terus pada kesempurnaan Allah, pada
saat itulah manusia semakin sadar kelemahan dirinya. Demikian juga pada ayat
selanjutnya, sungguh tidak ada seorangpun yang sanggup mengetahui pikiran
Allah. Sesuai dengan pemakaian istilah "rahasia" dalam pasal 11:25,
nas ini mengingatkan kita bahwa program Allah tidak dapat dimengerti oleh
manusia tanpa ilham dari Dia. Efesus 3:20 berkata bahwa Dia "dapat
melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan....".
Pertanyaan yang muncul
berikutnya semakin menguatkan bahwa Allah memiliki keputusan sendiri, dan tidak
dapat diganggu oleh siapapun. Karena memang Allah tidak memiliki hutang apa-apa
kepada manusia, sehingga manusia layak menuntut Allah. Kekayaan, hikmat dan
pengetahuan Allah tidak ada habis-habisnya. Keputusan-keputusan atau
ketetapan-ketetapanNya melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya.
Jalan-jalan-Nya keseluruhan, tindakan-Nya tidak dapat ditelusuri dan diikuti.
Tidak ada orang yang cukup hebat untuk dapat melihat seluruh tindakan Allah dan
mengikutinya. Kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama (Yes. 40:13; Ayb. 41:11)
menunjukkan betapa Allah tidak bergantung pada manusia.
Tidak ada satu pun
perbuatan baik kita yang dapat membuat Tuhan "berutang budi" kepada
kita (ayat 35). Karena hikmat bersumber dari Allah, maka tidak ada satu orang
pun yang layak memberikan petunjuk hikmat kepada Allah, lalu kita berani
menagih balik hak kita setelah kita "mengajari" Allah! Bagaimana
dengan kita? Kita seringkali merasa diri berhikmat. Mungkin karena kita sudah
merasa diri dewasa, berumur tua, dll. Umur, perawakan, dan hal-hal fenomenal
lainnya tidak membuktikan kita berhikmat SEJATI. Orang yang memiliki hikmat
sejati diukur dari seberapa dalam, setia, taat, jujur, kita menaklukkan diri
kita yang berdosa ini ke bawah kedaulatan Allah di dalam Alkitab. Orang yang
berhikmat sejati ditandai oleh suatu ciri bahwa orang itu bisa membedakan
dengan tegas manakah kehendak Allah dengan kehendak manusia: yang baik vs yang
tidak, yang berkenan kepada Allah vs yang tidak berkenan, yang sempurna vs
fana/tidak sempurna (Rm. 12:2).
Segala sesuatu yang kita
miliki, baik itu talenta, uang, bahkan hidup kita, semuanya berasal dari Tuhan.
Tuhan sendiri yang memampukan kita memakai semua itu bagi kemuliaan-Nya.
Ayat-ayat yang kita baca adalah sebuah doksologi atau pujian yang menutup
penjelasan Paulus tentang karya keselamatan yang begitu agung (pasal 1-11).
Masalah pelik dosa telah diselesaikan oleh cara Allah yang tak terpikirkan dan
tak terselami oleh manusia (ayat 33). Satu renungan yang dapat kita nyatakan
adalah bahwa manusia tak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Jika manusia
hidup dan memiliki ini/ itu, semua adalah kasih karunia semata. Menyadari bahwa
segala sesuatu yang kita miliki adalah kasih karunia Tuhan, bagaimanakah
seharusnya kita mempergunakan apa yang telah Dia berikan itu? Talenta, waktu,
kesehatan, uang, tempat tinggal, ... segala sesuatu yang kita miliki adalah
milik Dia. Maka ayat 36 menegaskan hal tersebut kepada kita.
Peralihan yang unik, ketika
Paulus telah selesai berbicara tentang kemuliaan Allah, maka sekarang adalah
saran Paulus, "karena itu saudara-saudara". Sapaan ini menjadi sapaan
yang khas dari Paulus untuk menegaskan bahwa hal ini menjadi sangat penting
sebagai orang yang memang mengenal kasih Allah. Kata-kata pembukaan yang sama
kita temukan pula dalam 1 Korintus 1:10; 2 Korintus 10:1; Efesus 4:1, dll.
Sapaan 'saudara-saudara' biasa dipakai Paulus bila ia mulai membicarakan
perkara yang dianggapnya penting (bandingkan Roma 10:1; 11:25; 15:30).
Menyusullah isi nasehat Paulus: supaya kamu mempersembahkan tubuhmu. Perkataan
Yunani paristgmi berkaitan dengan suasana
lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan kepada raja. Di ayat ini paristgmi merupakan istilah
peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan (kurban). Artinya itu
ditegaskan oleh pemakaian 'persembahan' (kurban).
Yang harus dipersembahkan
kepada Allah itu ialah tubuhmu. Yang dimaksud tentu bukan bahwa orang percaya
harus menyerahkan tubuhnya untuk dibunuh, sebagaimana kadang-kadang terjadi
dalam lingkungan agama lain. Bukan juga bahwa mereka wajib menyiksa diri supaya
bertambah suci. Atau bahwa mereka, pada masa gereja mengalami penindasan dari
pihak pemerintahan, harus mengadukan diri kepada pihak berwajib sebagai orang
Kristen agar dengan demikian memperoleh kedudukan martir. Memang apakah yang
dapat orang lakukan seandainya tidak punya tubuh? untuk berbicara ia butuh
mulut. Untuk mendengar orang lain bicara, telinga. Untuk melihat, mata. Untuk
berpikir, otak. Dan seterusnya.
Oleh karena itu, seluruh
pikiran, perkataan, dan perbuatan, pokoknya seluruh kemampuan dan kegiatan
kita, harus dipersembahkan kepada Tuhan. Hal itu membawa kita pada beberapa
pertimbangan: bahwa 'mempersembahkan' berarti penyerahan total. Kita tak dapat
menyisihkan sebagian untuk dipegang sendiri atau diserahkan kepada pihak lain
(bandingkan Kisah 5:1 dyb.). Kurban itupun harus bersifat sempurna (bandingkan kata-kata
'tidak bercela' yang berkali-kali dipakai dalam Kitab Imamat). Demikian juga
bahwa selain 'tubuh' itu tidak ada kurban lain yang harus dipersembahkan orang
Kristen. Dalam dunia abad pertama Masehi. orang membawa berbagai kurban. Orang
Kristen tidak dapat lagi turut membawanya. Kalau kurban agama kafir, mereka tak
dapat turut lagi karena ilah-ilah kafir bukan ilah, melainkan kesiasiaan (1
Korintus 8:4-6). Karena Allah sendiri telah menyediakan kurban yang mencegah
murka-Nya, yaitu Kristus, dan kurban itu, yaitu kematian Kristus, sudah cukup
untuk selama-lamanya. Persembahan itu sudah tidak diperlukan lagi, maka yang
penting adalah mempersembahkan totalitas hidup.
Kata lain yang kita jumpai
dipakai oleh Paulus adalah persembahan yang hidup dan kudus. Dengan demikian
diungkapkan bahwa 'tubuh' (= kehidupan) kita bukan lagi milik kita sendiri.
Sebab 'mempersembahkan kurban' berarti kurban itu diserahkan menjadi milik
Allah (atau dalam agama lain: dewa). Kalau misalnya dalam PL orang makan daging
persembahan (bandingkan misalnya Imamat 10:12 dlsb.), orang tidak menganggap
daging itu sebagai miliknya sendiri. Sebaliknya, perjamuan itu merupakan
persekutuan dengan Tuhan, sedangkan manusia seakan menjadi tamu-Nya. Maka, jika
orang percaya "mempersembahkan tubuhnya" kepada Allah, hal itu
berarti bahwa seluruh kehidupan mereka adalah milik Tuhan. "Itu adalah ibadahmu
yang sejati". Dalam bahasa Yunani: logike latreia yang juga dapat bermakna
pengabdian, karena jika diartikan ke dalam bahasa Ibrani akan dekat artinya
dengan kata abodah atau abad, yang memiliki arti
"mengabdi". Oleh sebab itu ajakan mempersembahkan tubuh, memiliki
makna totalitas. Bukan hanya sekedar jasmani tapi pemikiran, perbuatan,
perkataan, dlsb.
Pengertian tersebut membawa
kita kepada sebuah kesimpulan bahwa pengabdian kepada Allah adalah totalitas
hidup. Namun demikian, tetap tidak terlepas dengan sentuhan dunia (yang dapat
diartikan sebagai yang tidak berkenan kepada Allah). Oleh karena itu sangat
penting nasehat berikutnya yaitu agar berubah oleh pembaharuan budi. Nous, dalam bahasa Yunani yang
diterjemahkan 'budi', muncul juga dalam Roma 1:28, dalam 7:23 dan 25, serta
11:34. Di situ LAI memakai terjemahan 'pikiran' atau 'akal budi'. Agaknya di
sini 'budi' dipilih karena dalam hubungan ini artinya memang perubahan kelakuan
manusia. bukan perubahan pikirannya saja, yang dimaksud ialah pusat
kemauan kita, yang mengambil keputusan-keputusan yang menentukan tindakan kita
(bandingkan Amsal 4:23). Pusat itu perlu dibaharui. Telah kita lihat bahwa pembaharuan
hidup dikerjakan oleh Roh Kudus (7:6; 8:4). Namun, di sini
manusia sendiri juga diajak membaharui diri.
Bagaimanakah pembaharuan
budi ini berlangsung? Paulus kemudian memberikan petunjuk, yaitu paling tidak
melakukan 3 prinsip yang perlu diperhatikan dalam kehidupan jemaat yaitu:
Kita adalah anggota seorang terhadap yang lain.
Setiap jemaat memiliki
karunia yang berbeda-beda, semuanya memiliki keunikan dan peran tersendiri
dalam tubuh Kristus. Sehingga setiap anggota adalah sama di hadapan Tuhan. Maka
tidak ada alasan untuk memegahkan diri ataupun menyombongkannya menganggap diri
lebih dari yang lain.
Karunia itu adalah untuk dilakukan sesuai dengan iman.
Tuhan karuniakan berbagai
bakat dan kemampuan yang berbeda-beda dalam jemaat, dan karunia itu diberikan
bukan untuk disimpan ataupun dinikmati sendiri, namun Tuhan memberikannya
supaya dapat dipergunakan untuk saling menolong dan membantu. Maka kita
mempersembahkan hidup kita menjadi persembahan yang hidup, kudus dan yang
berkenan kepada Tuhan. Kita melakukan yang terbaik kepada Tuhan sesuai dengan
karunia yang diberikan bagi kita.
Melakukan karunia itu
dengan hati yang iklas, rajin dan penuh sukacita
Apapun karunia yang kita miliki lakukanlah
dengan iklas, rajin dan penuh sukacita. Jangan lakukan dengan terpaksa ataupun
karena alasan-alasan tertentu kita melakukan sesuatu.
Kembali pada penjelasan di
atas, bukankah Allah yang mengetahui segala keputusannya? Dan bukankah Dia
adalah yang memiliki hikmat dan pengetahuan yang sempurna yang tak terselami
manusia? Maka dengan demikian, apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan
segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3: 23), itulah
pengabdian (ibadah) yang sejati dan persembahan yang hidup. AMIN
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar